BAB. I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Masalah
Allah
SWT menjadi langit dan bumi beserta isinya. Di langit ada bintang-bintang, mentari, dan mahkluk angkasa lainnya. Di bumi
Allah SWT menciptakan lautan, gunung, binatang, manusia, dan lain sebagainya.Semua
ciptaan Allah tersebut hidup dalam keteraturan, keharmonisan dan keserasian.
Coba
lihat perputaran matahari, planet dan bulan, mereka tetap berjalan pada
porosnya. Tidak berbenturan satu sama lainnya. Seandainya semua itu tidak ada
yang mengaturnya tentu akan hancur, dan bumi pun juga akan musnah. Tetapi semua
tidak terjadi. Coba bayangkan seandainya dibumi tidak ada malam, niscaya daerah
kutup akan mencair, volume lautan meningkat dan lain sebagainya. Seandainya
bumi terus-menrus dalam keadaan malam, sinar mentari tidak ada, suhu bumi
berada pada posisi nol derajat celsius sudah dapat dipastikan dunia akan beku.
Dan begitu seterusnya.
Begitupun
dengan kehidupan sosial, penuh dengan keharmonisan dan keteraturan.Ada kaya,
ada miskin, ada kuat ada lemah. Dan lain sebagainya. Bias dibayangkan
seandainya manusia ssemua kaya, pasti tidak ada yang mau jadi tukang becak,
tidak ada tukang cuci, tidak ada angkot dan lain sebagainya. Kehidupan tidak
akan indah dan harmonis. Kaya tidak ada artinya, kuat tidak bermakna. Adanya
kaya, miskin, kuat, lemah, sehat, sakit, tinggi pendek, pintar, bodoh, gelap,
terang, baik, buruk, air mengalir dari tempat tinggi ketempat rendah dan
seterusnya merupakan ketetapan Allah yang berlaku sepanjang masa pada kehidupan
kemasyarakatan. Ketetapan itu disebut dengan hukum-hukum alam, hukum
kemasyarakatan atau sunnatullah. Ketetapan itu tidak berubah dan beralih
sebagaimana yang disinyalir dalam banyak ayat al-Qur'an.
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis menfokuskan pembahasan ini pada apa itu
sunnatullah.
2. Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan sunnatullah?
2. Bagaimanakah
karakteristik dari sunnatullah?
3. Bagaimanakah
klasifikasi/pengelompokan dari sunnatullah?
4. Ada
berapa macam sunnatullah itu?
5. Apakah
yang dimaksud dengan tasyri’ Islami?
6. Apa
sajakah yang terdapat dalam ruang lingkup tasyri’ Islami?
7. Bagaimanakah
penetapan dan sumber hukum pada masa Nabi Muhammad saw?
8. Dan
bagaimana pula sumber hukum pada masa sahabat?
BAB. II PEMBAHASAN
A.
SUNNATULLAH
1.
Pengertian
Sunnatullah
Sunnatullâh merupakan
istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu sunnah (ﺳﻨﺔ) dan Allah (ﺍﻟﻠﻪ). Dengan digabungkannya dua kata tersebut, maka menjadi susunan
iḍafiah (ﺇﺿﺎﻓﻴﺔ), susunan kata yang
terdiri dari kata yang berpredikat sebagai mudlof (kata yang disandari)
dan mudlof ilaihi (kata yang disandarkan). Kata sunnat
berkedudukan sebagai mudlof (ﻣﻀﺎﻑ)
dan kata Allah berkedudukan sebagai mudlof ilaihi (ﻣﻀﺎﻑﺍﻟﻴﻪ) nya. Di dalam bahasa arab, kata sunnat
dengan fi'il madli (kata kerja untuk masa lampau) nya sanna ini
mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah, tharīqat (jalan, cara,
metode), as-sīrat (peri kehidupan, perilaku), thabī'at (tabiat,
watak), asy-syrī'at (syariat, peraturan, hukum) atau dapat juga berarti
suatu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi (kebiasaan).[1]
Menurut Syaikh
al Islam Ibnu Taimiyah, sunnat adalah kebiasaan yang dilakukan kedua
kalinya seperti apa yang dilakukan pertama kalinya. Sedangkan menurut Ar Razi, sunnat
adalah jalan yang lurus dan tauladan yang diikuti. Diantara pendapat kedua
tokoh Islam dan beberapa pendapat lain tentang arti kata sunnat, makna sunnat
berkisar pada jalan yang diikuti. Dan secara umum, kata sunnat digunakan
oleh al-Qur’ān sebagai cara atau aturan.[2]
Sedangkan kata Allah
adalah nama bagi Dzat Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta dan Maha Adil,
dan Maha Segalanya. Setiap nama Allah mencakup diri-Nya dan juga yang lainnya.
Bersifat hakiki untuk-Nya dan majazi bagi yang lainnya. Di
dalamnya terkandung makna rubūbiyah (ketuhanan) dan seluruh makna itu
tercakup di dalamnya.
Nadhr Bin
Syāmil berkata, kata Allah diambil dari kata at-ta'alluh (ﺍﻟﺘﻌﻠﻪ)
yang berarti ibadah. Ulama yang lain berkata, kata itu diambil dari kata al-ilāh
yang berarti menjadi sandaran. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kata itu
berarti al- muhtajib (ﺍﻟﻤﺤﺘﺠﺐ), yang menutupi.[3]
Lebih lanjut
mengenai hal ini, di dalam al-Qur’ān surat al-Hadīd ayat 3 dijelaskan bahwa
Allah adalah Dzat Yang Awal dan Yang Akhir, Yang ẓahir dan Yang Batin, dan Dia
adalah Dzat Maha mengetahui segala sesuatu, meliputi seluruh yang ada di alam
semesta ini.
Jadi, sunnatullāh
dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan manusia, yang dalam arti
luasnya bermakna ketetapan-ketetapan atau hukum-hukum Allah yang berlaku untuk
alam semesta.[4]
Sedangkan, di
antara beberapa pengertian secara terminologis yang menurut penulis lebih
mencakup adalah bahwa Sunnatullāh adalah sebagai jalan yang dilalui
dalam perlakuan Allah terhadap manusia sesuai dengan tingkah laku, perbuatan
dan sikapnya terhadap syariat Allah dan Nabi-Nya dengan segala implikasi nilai
akhir di di dunia dan akhirat.[5]
2.
Karakteristik
Sunnatullah
Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta, atau dalam
bahasa akademis disebut hukum
alam. Diantara karakter/sifat sunnah atau ketetapan Allah antara lain:
a.
Selalu ada dua kondisi yang saling ekstrem(berlawanan),
seperti surga-neraka, benar-salah, baik-buruk.
b.
Segala sesuatu diciptakan secara berpasangan (dua atau
lebih).
c.
Selalu terjadi pergantian dan perubahan antara dua
kondisi yang saling berbeda, seperti
siang-malam, panas-dingin.
d.
Setiap perubahan, penciptaan maupun penghancuran selalu
melewati proses.
e.
Alam yang diciptakan dalam keadaan seimbang, teratur dan
terus berkembang.
f. Setiap terjadi kerusakan di alam manusia,
Allah mengutus seorang utusan untuk memberi peringatan atau memperbaiki
kerusakan tersebut.[6]
3.
Klasifikasi/Sifat
Sunnatullah
Bukan terjadi
karena kebetulan, akan tetapi terjadi disebabkan adanya ketentuan-ketentuan
baku yang mengatur terjadinya suatu kejadian. Penciptaan alam semesta dan
seluruh makhluk yang ada, termasuk manusia diciptakan bukan untuk main-main (La'b)
atau kepalsuan (Bāthil), penciptaan yang tanpa maksud dan tujuan.
Secara global,
aturan-aturan tersebut di bagi ke dalam dua segi, yang pertama adalah aturan
yang semua makhluk hidup tunduk kepadanya dalam eksistensinya sebagai benda,
begitu juga semua kejadian yang dialami oleh benda itu. Tunduk pula keberadaan
manusia dengan segala perkembangannya. Segi aturan
pertama ini dialami oleh seluruh makhluk dan benda yang ada, termasuk manusia.
Pergantian
siang dan malam, gunung meletus, proses kelahiran dan perkembangan biologis
manusia dan lain sebagainya. Dalam segi aturan global pertama ini para ahli
tidak ada yang mengingkari akan keberadaan hukumnya.[7]
Dan yang kedua,
aturan yang berhubungan dengan tunduknya manusia pada aturan sebagai makhluk
individu dan sosial. Ketundukan di sini dimaknai sebagai ketundukan
manusia dalam kehidupannya. Baik tingkah laku, baik dan buruknya, kebagiaan dan
kesedihannya, terhormat dan hinanya, kuat dan lemahnya, adzab dan nikmatnya
serta segala sesuatunya yang disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan
aturan ini. Di sinilah fungsi adanya syari'at, dengan kitab suci dan
hadits-hadits nabinya, berperan sebagai penjelas. Pembagian ini lebih
disinkronkan dengan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai 'Abd (hamba
Allah) dan khalifah di muka bumi.[8]
Dari kedua
kategori global tersebut, ada tiga sifat utama Sunnatullāh yang
diterangkan di dalam al-Qur’ān dan dapat ditemukan dalam riset oleh setiap
saintis yaitu:
Pertama, exact (pasti).
Sebagaimana disebutkan ayat-ayat muhkamat di dalam firman Allah swt,
yang artinya antara lain :
Artinya: Yang
kepunyan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan
segal sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.
(QS. Al Furqān ayat 2)
Artinya: Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan-ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalāq ayat 3).
Dengan sifat Sunnatullāh
ini manusia mendapat jaminan yang memberi kemudahan bagi manusia dalam suatu
rencana berdasarkan perhitungan. Hal inilah, secara fungsional mendorong
manusia untuk berkreasi dan meningkatkan proses kemanusiaannya menuju kepada
yang lebih baik.[9]
Kedua. Immutable,
tetap atau tidak berubah. Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah swt, yang
artinya :
Artinya, Sebagai
sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu),
dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS.
Al-Isra’ayat 77).
Dengan adanya
sifat seperti ini, manusia dapat memahami suatu fenomena yang terjadi di alam
ini dengan mengamati relasi-relasi konsisten yang ada di dalamnya. Sehingga
memberikan keyakinan bagi manusia dalam menjalani tugas dan tanggung jawabnya
di dalam kehidupan dunia ini.[10]
Ketiga. Objective.
Dengan sifat Sunnatullāh ini dapat difahami bahwa, siapapun yang
melakukan kehidupannya di dunia ini dengan mematuhi ketentuan-ketentuan di
dalam Sunnatullāh, maka ia akan memperoleh apa yang menjadi tujuannya.
Dan sebaliknya, barang siapa yang tidak mengikuti Sunnatullāh secara
konsisten, maka ia tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. Dalam ranah inilah
terminologi 'amal shālih diartikan sebagai perbuatan yang sesuai dan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Sunnatullāh.[11]
Sebagaimana
yang termaktub di dalam Alqurān yang artinya,
Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh
malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermcam-macam cobaan)
sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ”Bilakah
datangnya pertolongan Allah?” ingatlah, sesungguhnnya pertolongan Allah itu
amat dekat. (QS. Al-Baqarah ayat 214)
4. Macam-Macam Sunnatullah
Sunnatullah terdiri dari dua macam, yaitu :
a.
Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang
tertulis dalam bentuk lembaran atau dibukukan, yaitu Al-Qur’an.
b.
Sunnatullah kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan
berupa kejadian atau fenomena alam. Contohnya, matahari terbit di ufuk timur
dan tenggelam di ufuk barat.
B.
TASYRI’ ISLAMI
1.
Pengertian
Tasyri’ Islami
Kata tarikh barasal dari kata “ta’rikh” dengan kata
kerja (fi’il) arrakha yang berarti menentukan waktu terjadinya
sesuatu.Kata ini terkadang juga digunakan untuk menunjukkan waktu terjadinya sesuatu,
mencakup semua kejadian yang terjadi pada waktu itu dalam berbagai keadaan.[12]
Sedangkan kata tasyri’ adalah bentuk mashdar (verbal
noun) dari kata kerja syarra’a yang berarti membuat syariat.Penutur
asli bahasa Arab menggunakan kata ini untuk dua arti berikut.
a.
Jalan yang
lurus. Terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Jatsiyah (45) ayat 18.
b.
Air mengalir
yang biasa digunakan untuk minum, sebagaimana ucapan orang Arab ;Syara’at
al-ibil berarti (unta itu tengah pergi mencari tempat air).[13]
Sedangkan menurut terminology fuqaha’, kata syariat dipakai
untuk menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah kepada
hamba-Nya melalui lisan seorang rasul.[14]
Merujuk kepada pengertian diatas, kata tasyri’ mengandung
arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
Jika demikian halnya, kata tasyri’Islami hanya terjadi pada
waktu Rasulullah SAW masih hidup saja karena baginda adalah penyampai dari
Rabbnya, sedangkan setelah baginda wafat tidak ada satu orang pun yang memiliki
kapasitas ini, sebab baginda adalah penutup para nabi dan rasul.
Sebab, syariat Islam sudah sempurna di zaman baginda masih hidup.
Sebagaimana firman Allah SWT,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ
أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً …
Artinya, …pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
menjadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah (5) ayat 3).
Sepeninggal Rasulullah,
ijtihad para sahabat dan tabi’in praktis tidak ternasuk tasyri’ dalam arti yang
sesungguhnya, melainkan hanya bersifat tausi’i (perluasan) dalam penerapan
kaidah-kaidah kulli (makro) dan mengaplikasikannya dalam masalah-masalah juz’iy
(mikro) yang terus berkembang, meng-istinbat (mendeduksi) hukum dari sumbernya
untuk memahami hadis dan mengqiyaskan pemahamannya.
Dengan begitu, tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas tentang
kondisi fiqh Islam pada zaman Rasulullah dan seterusnya dengan menentukan
fase-fase perkembangan sumber-sumber syariat dan hukumnya, menjelaskan setiap
perubahan yang terjadi berupa naskh (amandemen), takhshih (pengkhususan), dan
tafri’ (penjabaran).Ilmu tarikh tasyri’ juga mengkaji tentang kondisi para
fuqaha’ (ahli fiqih) pada setiap fase (marhalah), menelaah metodologi meraka
dalam menetapkan sebuah hokum serta warisan keilmuan dan ijtihad yang terhimpun
dalam fiqh Islam.[15]
2.
Azas Hukum
Tasyri’
¢OèOy7»oYù=yèy_4’n?tã7pyèƒÎŽŸ°z`ÏiBÌøBF{$#$yg÷èÎ7¨?$$sùŸwurôìÎ7®Ks?uä!#uq÷dr&tûïÏ%©!$#ŸwtbqßJn=ôètƒ
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu
berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
(Al-Jatsiyah: 18)
Ayat inilah yang menjadi asas atau dasar
Tasyri’ dalam Al Qur’an, yang kemudian berkembang kedalam Hukum Islam lainnya.[16]
3.
Ruang Lingkup
Tarikh Tasyri’ Islami
Tasyri’ Islami dengan makna istilah yang sudah disebutkan sebelumnya,
mencakup semua jenis hukum yang ditetapkan Allah kepada hambanya yang terdiri
dari :
a.
Al-Ahkam
al-I’tiqadiyah (hukum-hukum
teologis), yaitu semua hokum yang berkaitan dengan aqidah Islam seperti tauhid
kepada Allah, kerasulan, para malaikat, jin, hari kiamat, hari mahsyar,
pembalasan, surga, dan neraka. Semuanya dijelaskan secara lengkap dalam kitab
tauhid atau ilmu kalam.
b.
Al-Ahkam
al-wijdaniyah (hukum-hukum
yang berkaitan dengan intuisi/hati), yaitu setiap yang berkaitan dengan masalah
akhlak batin, perasaan jiwa seperti zuhud, wara’, sabar, bijak, iffah,
dermawan, dan yang lainnya. Semua pembahasan ini dijelaskan dalam kitab akhlak
dan tassawuf.
c.
Al-Ahkam
al-‘amaliyah (hukum-yang
berkaitan dengan amal perbuatan), yaitu setiap perbuatan indrawi/amali seorang
hamba seperti shalat, zakat, jual beli, sewa-menyewa, maninggalkan riba,
minuman keras dan mencuri. Semua dijelaskan secara lengkap dalam kitab fiqh.
4.
Periodisasi
Perkembangan Hukum Islam (Tasyri’ Islam)
Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan
perkembangan syariat Islam, diantara mereka ada yang menjadikan pembagian
syariat Islam sama seperti perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan,
manusia mengalami zaman kanak-kanak, dewasa dan zaman tua, demikian juga halnya
dengan syariat Islam dalam perkembangan dan perjalanannya.
Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek
perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam
fiqh, mereka menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan
syariat Islam. Sebagian mengatakan empat fase, sebagian lagi mengatakan ada
lima, ada yang enam, dan ada juga pendapat lain yang mengatakan tujuh.
Pendapat yang lebih tepat dan kami pilih dari pembagian ini, yaitu
pendapat yang mengatakan ada empat fase sebagai berikut :
1.
Fase kelahiran
dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah SAW, sehingga dapat
kita istilahkan sebagai fase penurunan dan kedatangan wahyu.
2.
Fase
pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai zaman
pertengahan abad keempat hijriah.
3.
Fase kejumudan
dan taqlid, mulai dari pertengahan abad keempat sampai abad dua belas hijriah.
4.
Fase
kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad dua belas hijriah sampai sekarang
ini.
A.
Fase Pendirian
dan Pembentukan Hukum Syariat
1.
Syariat pada
Masa Kerasulan
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah saw dapat disebut juga
sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam berdasarkan hal-hal
sebagai berikut :
a.
Kesempurnan
dasar dan sumber-sumber utama fiqh Islam pada masa ini.
b.
Setiap syariat
(undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk kepada manhaj
yang telah digariskan Rasulullah saw dalam meng-istinbat(mengeluarkan)
hukum syar’i.
c.
Periode-periode
setelah era kerasulan (sepeninggal Rasulullah saw) tidak membawa sesuatu yang
baru dalam fiqh dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru
atau kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah saw.[17]
2.
Rentang Waktu
Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam pada Masa Kerasulan
Fase ini dimulai sejak diutusnya Rasulullah saw pada tahun 610 M
hingga wafatnya baginda Rasulullah saw pada tahun kesepuluh hijriah. Jadi,
secara keseluruhan fase ini berlangsung selama dua puluh tiga tahun.
3.
Tahapan Tasyri’
pada Masa Kerasulan
Fase ini bermula ketika Allah swt mengutus nabi Muhammad saw
membawa wahyu berupa Alquran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada
hari jum’at 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijriah bertepatan dengan
tahun 610 M. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah saw di Mekah selama
tiga belas tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah dan
ditempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai Rasulullah saw
wafat pada tahun 11 hijriah.
Terkadang wahyu turun kapada Rasulullah saw dalam bentuk Alquran
yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan
wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Rasulullah, atau yang
kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadis. Dengan dua pusaka inilah
perundang-undangan Islam ditetapkan dan ditentukan (Alquran dan Hadits).
Atas dasar ini, perundang-undangan pada masa Rasulullah mengalami
dua periode istimewa, yaitu periode legislasi hukum syariat di Mekah yang
dinamakan perundang-undangan era Mekah (at-tasyri’ al-makki) dan periode
legislasi hukum syariat di Madinah yang kemudian disebut perundang-undangan era
Madinah (at-tasyri’ al-madani).
a.
Tasyri’Periode
Mekah
Periode terhitung sejak diangkatnya nabi Muhammad menjadi Rasul
sampai beliau hijrah ke Madinah.Periode ini berlangsung selama 10 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini lebih focus pada
upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama,
membeersihkan akidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah, selain
menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala
bentuk pelaksanaan syariat.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan
petunjuk dan arahan kepada manusia kepada dua arahan utama :
1.
Mengokohkan
akidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah swt dan bukan yang
lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul dan hari akhir.
2.
Membentuk
akhlak agar manusia memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat-sifat
tercela.
b.
Tasyri’ Periode
Madinah
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasululah dari Mekah hingga
beliau wafat.Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini menitikberatkan
pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah Islamiyah pada fase ini membahas
tentang akidah dan akhlak.
Secara umum, semua hukum baik yang berupa perintah atau larangan
kepada mukallaf turun pada fase ini, kecuali hanya sedikit seperti hukum shalat
yang diturunkan pada waktu malam isra’ dan mi’raj satu tahun sebelum beliau
hijrah ke Madinah.Selain yang ini berupa ibadah, muamalah, jinayah, hudud,
warisan, wasiat, pernikakan, dan talak semuanya turun pada fase ini.
Adapun contoh dari ayat-ayat hukum yang turun
pada periode Madinah seperti:
1. Peristiwa Martsad Ganawi. Martsad Ganawi
adalah utusan Rasulullah sawdari madinah ke Mekah. Setibanya dia di kota tersebut ia dilamar
oleh seorang wanita musyrik yang kaya dan cantik, namun Martsad Ganawi tidak
segera memberikan putusan karena wanita tersebut belum masuk Islam. Selanjutnya
dia melaporkan hal tersebut kepada Nabi dan turunlah hukum tentang perkawinan
antar agama yang melarang perkawinan dengan wanita musyrik begitu juga
sebaliknya perempuan beriman yang dinikahi oleh laki-laki musyrik.[18]
2. Peristiwa janda Sa’ad bin rahi’. Janda ini mempunyai dua
orang anakperempuan dan mempunyai warisan dari suaminya. Menurut kebiasaan
orang-orang Arab, mereka tidaklah mendapat apa-apa dari warisan tersebut dan
beralih kepada saudara laki-laki dari Sa’ad. Maka hal ini diadukan janda sa’ad
kepada Nabi saw., dan kemudian turunlah ayat tentang hukum warisan.[19]
3. Turunya ayat Al Qur’an tentang hukum larangan berperang
pada bulan-bulan dan tempat-tempat yang diharamkan oleh Allah SWT, untuk berperang.[20]
4.
Sumber Tasyri’
pada Fase Kerasulan
Sumber perundang-undangan hukum Islam (tasyri’) pada fase ini
terhimpun dalam satu sumber, yaitu wahyu yang turun kepada Rasulullah dari sisi
Allah.
Wahyu sendiri ada dua macam, yaitu wahyu yang terbaca, yaitu
Alquran, dan wahyu yang tidak dibaca yaitu sunnah nabawiyyah.
a)
Pertama ;
Alquran Al-Karim
Alquran Al-Karim adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad
saw dianggap ibadah membacanya, menjadi penantang dengan surah terpendek
darinya, diawali dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan Surah An-Nas.
Alquran merupakan sumber pertana dan utama bagi perundang-undangan
Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam
pembuatan undang-undang dan peraturan.
b)
Kedua ;
As-Sunnah An-Nabawiyyah
As-Sunnah An-Nabawiyyah adalah setiap yang keluar dari Rasulullah
saw, baik berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan.
As-Sunnah menempati urutan kedua setelah Alquran karena ia menjadi
penguat, penjelas, penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam
Alquran.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang diturunkan global
sebagaimana firman Allah swt : “Dan dirikanlah shalat”. Ini adalah nash
global dalam pensyariatan shalat, sedangkan dari segi waktu, jumlah rakaat,
dan rukunnya dijelaskan oleh As-Sunnah dengan sabda Rasulullah saw :Shalatlah
kalian sebagaimana kalian melihat saya shalat.
As-Sunnah juga menjelaskan hukum sesuatu yang didiamkan oleh
Alquran, hal ini dapat dilihat dalam banyak masalah, diantaranya kaharaman
menggabungkan (memadu) antara seorang wanita dengan bibinya (baik dari garis
bapak atau ibu). Hal ini dinyatakan Rasulullah saw, dalam sabda : “Tidak
boleh seorang suami memadu antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis
bapak) dan juga tidak boleh antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis
ibu). Ketentuan ini sebelumnya tidak diterangkan dalam Alquran.
As-Sunnah juga datang sebagai penegas terhadap hokum yang ada dalam
Alquran seperti haramnya mencuri, riba, dan memakan harta orang lain dengan
cara bathil.
5.
Metode
Pensyariatan pada Fase Ini
Nabi Muhammad saw. Menyampaikan syariat (perundang-undangan) pada
fase ini melalui beberapa cara, diantaranya :
1)
Memberikan ketentuan
hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang muncul atau yang ditanyakan oleh
para sahabat, lalu beliau memberi jawaban terkadang dengan satu ayat atau
beberapa ayat dari Alquran yang memang turun sebagai jawabannya. Sebagaimana
firman Allah swt,
يَسْأَلُونَكَمَاذَايُنْفِقُونَۖقُلْمَاأَنْفَقْتُمْمِنْخَيْرٍفَلِلْوَالِدَيْنِوَالْأَقْرَبِينَوَالْيَتَامَىٰوَالْمَسَاكِينِوَابْنِالسَّبِيلِۗوَمَاتَفْعَلُوامِنْخَيْرٍفَإِنَّاللَّهَبِهِعَلِيمٌ
Artinya, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan.
Jawablah, “apa saja yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu-bapak,
kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan. ‘Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya
Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah (2) ayat 215).
2)
Terkadang
Rasulullah member jawaban dengan ucapan dan perbuatannya, sebagaimana sabda
Rasulullah kepada sebagian sahabat ketika ada yang bertanya, “Kami menyebrangi
lautan apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Beliau menjawab, “Ia suci
airnya dan halal bangkainya.”
6.
Ijtihad Nabi
Yang dimaksudkan dengan ijtihad Nabi adalah mengeluarkan hukum
syariat yang tidak ada nash nya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh
tidaknya Rasulullah berijtihad kedalam kedua kelompok besar :
Pertama, kalangan
Asy’ariyah dari ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah. Mereka berpegang teguh
bahwa Rasulullah tidak boleh berijtihad sendiri. Diantara dalil yang mereka
gunakan adalah firman Allah swt,
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Artinya, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya; ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (QS.
An-Najm ayat 3-4).
Ayat ini menafikan bahwa Rasulullah menetapkan sebuah hukum
berdasarkan pendapat pribadi yang tidak ada wahyu dengan itu karena setiap
permasalahan yang muncul, Rasulullah selalu berharap ada wahyu yang turun
menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun maka itu pasti benar tidak ada yang
salah. Dan jika Rasulullah berijtihad dengan pendapatnya sendiri maka
ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah, dan jika memang ia benar atau
lebih dekat dengan kebenaran maka tidak boleh ditinggalkan lalu mengamalkan
yang masih belum pasti selama yang pertama masih bisa diamalkan.
Dalil ini disanggah karena hujjah (alasan) yang disebutkan tidak
dapat diterima, sebab kata ganti “huwa” dalam ayat “in huwa illa
wahyun yuha” (ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan)
kembali kepada Alquran, karena ayat ini turun sebagai jawaban terhadap ucapan
orang kafir yang mengatakan bahwa Alquran adalah rekayasa Muhammad. Ayat ini
turun dengan sebab khusus, sehingga makna yang sesuai adalah bahwa ayat yang
dibaca oleh Muhammad bukan keluar dari hawa nafsu melainkan wahyu dari Allah.
Oleh karena itu, ayat tersebut hanya khusus untuk kasus Alquran, dan tidak
dapat digeneralisir pada keseluruhan ucapan Rasulullah saw.
Seandainya kita sepakat ada makna umum, maka ijtihadnya Nabi saw.
Tidak sama dengan ijtihadnya orang lain karena ia juga akan berakhir dengan
wahyu. Karena jika baginda tepat dalam ijtihadnya, pastilah wahyu akan
mengakuinya dan jika salah maka wahyu akan selalu mengarahkannya.
Kedua, mayoritas ulama
ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam setiap urusan,
Rasulullah boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya,
dalil mereka ;
Nabi Muhammad diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman
Allah, “Maka carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”.Artinya
bandingkan antara kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah
ada hukumnya jika ada kemiripan antara keduanya dalam illat dan ini
adalah salah satu bentuk ijtihad.
Ada sejumlah riwayat dari Rasulullah saw, yang menjelaskan bahwa
beliau diberi hak memilih dalam beberapa kejadian :
i. Sabda Rasulullah, “Seandainya tidak terlalu memberatkan umatku,
niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shalat.” Hadis
ini menerangkan bahwa Rasulullah telah meletakkan satu hukum kepadanya, selain
itu hadis ini menjelaskan seandainyan tidak ada masyaqqah (kesusahan)
dalam praktik pelaksanaan siwak setiap jelang shalat pada diri kaum muslimin,
maka pastilah Rasulullah akan memerintahkan mereka untuk bersiwak.
ii. Sabda Rasulullah, “kalau bukan karena kaummu masih dekan dengan
zaman kekufuran pastilah aku mendirikan ka’bah sesuai dengan bangunan Ibrahim.
Adapun contoh ijtihad Rasulullah saw, antara lain ketika beliau
memberikan izin kepada orang-orang munafik yang meminta izin untuk tidak ikut
dalam perang Tabuk, maka turunlah ayat,
Artinya, Semoga Allah memaafkanmu.Mengapa kamu member izin
kepada mereka, sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu
ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS. At-Taubah (9) ayat 43).
Dari sini jelaslah bahwa ijtihadnya Nabi memang telah terjadi dalam
perkara yang tidak ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh
wahyu dari segala sisi, jika Rasulullah salah dalam salah satu ijtihadnya maka
wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi akan meluruskannya.
7.
Karakteristik
Perundang-Undangan pada Masa Kerasulan
Beberapa karakteristik perundang-undangan pada masa kerasulan
adalah sebagai berikut :
a.
Sumber
perundang-undangan zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan dua bagiannya,
baik yang terbaca yaitu Alquran, ataupun yang tidak terbaca yaitu
As-Sunnah/Hadis.
b.
Referensi utama
untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini adalah Rasulullah SAW
sendiri, sebab Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah.
c.
Perundang-undangan
Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan kaidah dan
dasarnya sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 3.
d.
Kesempurnaan
syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus,
dimana kitab Allah dan Sunnah Rasulullah memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar
yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi
kembali serta berjalan diatas behteranya yang memuat produk perundang-undangan
yang elastic dan sesuai untuk segala kondisi dan zaman sehingga sangat mudah
bagi para mujahid untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum tersebut dan
menerapkannya dalam masalah cabang berdasarkan illat hukum yang ada
sehingga tidak ada satu masalah baru yang muncul kecuali jawabannya ada dalam
kitab Allah.
e.
Fiqh Islam
dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini.
f.
Pada masa
Rasulullah, jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah akan
menjawabnya, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada ditempat maka para sahabat
akan berijtihad sendiri, kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah
untuk ditetapkan atau dibatalkan.
g.
Belum terlihat
pada zaman ini ada masalah-masalah yang bersifat iftiradhiyah (hipotesis),
semua masalah lahir dari realitas hidup yang perlu dijelaskan hukumnya.[21]
B.
Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum
Syariat Islam
Fase ini memakan waktu yang sangat panjang, mulai dari tahun 11
hijriah sampai akhir abad 14 hijriah.Dalam fase ini terdapat 3 tahapan, yaitu
1.Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin, 2. Masa Dinasti Umayyah, 3. Masa Dinasti
Abbasiyah. Akan tetapi dalam pembahasan ini, kami hanya akan menjelaskan
mengenai tasyri’ pada masa sahabat saja.
1.
Tasyri’ pada
Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Periode ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqh
Islam.Periode ini berawal dari zaman wafatnya Rasulullah pada tahun 11 hijriah
sampai akhri zaman khulara’ar rasyidin pada tahun 40 hijriah.
Setelah hukum-hukum sempurna pada masa kerasulan, lalu pindah ke
masa sahabat, mereka harus memikul tanggung jawab mencari sumber-sumber syariat
yang ada agar dapat menjawab segala perkembangan dan kejadian yang terus
berlangsung dan tidak ada nash nya dalam Alquran atau sunnah.
a.
Definisi
Sahabat
Adapun yang dimaksud dengan sahabat menurut terminology para ulama
fiqh adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw, dalam
status beriman kepadanya, dan meninggal dunia dalam keadaan beriman pula.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat tentang lamanya
interaksi/pergaulan (shuhbah)dengan Rasulullah dan banyaknya periwayatan
Nabi.Sebagian mereka mensyaratkan seorang sahabat harus bergaul dengan Nabi
selama satu atau dua tahun dan pernah berperang bersama baginda Rasulullah
walaupun hanya sekali atau dua kali.
Sebagian ulama ada yang tidak memberikan syarat seperti diatas,
sehingga setiap orang yang bertemu dengan Nabi adalah sahabat, lepas dari
apakah ia lama atau sebentar bergaul dengan Rasulullah, juga apakah ia pernah
meriwayatkan hadis dari Nabi atau tidak, pernah berperang atau tidak bersama
beliau. Singkat kata, siapa yang pernah
melihat baginda Rasulullah walaupun tidak sempat duduk bersama beliau juga
dinamakan sahabat, termasuk juga orang yang tidak sempat melihat karena ada
kendala seperti buta. Namun, ada ulama yang memberikan syarat harus melihat
pada waktu ia berusia tamyiz.
Menurut pendapat yang kedua, jumlah para sahabat sangat banyak. Abu
Zur’ah menuturkan bahwa ketika wafat, Rasulullah meninggalkah 114.000 orang
sahabat yang pernah meriwayatkan hadis Nabi, dalam riwayat lain termasuk orang
yang pernah melihat dan mendengar dari Rasulullah. Abu Zur’ah ditanya, “Dimana
mereka dan dimana mereka mendengar hadis Nabi?” Ia Menjawab, “Dia terlihat oleh
penduduk Madinah, penduduk Mekah dan diantara keduanya, orang-orang Arab badui,
orang yang bersama Nabi pada waktu haji wada’, dan setiap orang yang melihat
dan mendengar Nabi di Arafah.
b.
Kelebihan Para
Sahabat dalam Memahami Syariat
Para sahabat memiliki keistimewaan tersendiri dalam memahami
syariat Islam dibandingkan orang lain, disebabkan beberapa factor sebagai
berikut :
1.
Mereka sangat
dekat dan bertemu langsung dengan Nabi sehingga memudahkan mereka untuk
mengetahui asbabun nuzul ayat dan hadis. Mereka juga menetahui penafsiran
Rasulullah tentang beberapa ayat selain juga mengetahui illat hukum dan
hikmahnya yang hasilnya dapat memudahkan mereka untuk melakukan qiyas terhadap nash-nash
yang ada kemiripan lalu menetapkan hukumnya.
2.
Mereka memiliki
tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa
Alquran sehingga mudah untuk memahami makna Alquran sebab diturunkan dengan
bahasa Arab.
3.
Mereka
menghafal Alquran dan sunnah Rasulullah, menjadi orang pertama yang mempelajari
ilmu syariat dan hukumnya.[22]
c.
Perbedaan dalam
Memahami Syariat di Kalangan Sahabat
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya sebagai
berikut :
1.
Perbedaan
tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri,
istilah-istilah asing yang ada dan carapemakaiannya, tetapi ada jiga yang tidak
bisa. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab ketika ia membaca firman Allah dalam
khutbahnya, “Átau Allah mengazab mereka menghina (takhawwufin), kemudian
Umar bertanya kapada hadirin tentang maknatakhawwufin, “apa pendapat
kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwufin itu? “Lalu berdirilah
seorang yang sudah berusia lanjut dari kabilah Huzail dan berkata, “ini bahasa
kami dan takhawwufin artinya menghina (tanaqqush)”. Umar berkata,
“Apakah orang Arab tahu ini dalam syair mereka?” Ia menjawab,”Ya”, dan diapun
menyebutkan sebuah bait syair untuk meperkuat ucapannya. Umar berkata, “Jagalah
syair kalian dan kalian tidak akan tersesat. “Para sahabat bertanya, “Apa itu
syair (diwan) kami?” Umar menjawab, “Syair Jahiliah, sebab didalamnya
ada penafsiran untuk kitab kalian dan makna ucapan kalian.”
2.
Perbedaan dalam
hal pergaulan dengan Rasulullah, sebab bergaul dengan Rasulullah berpengaruh
terhadap tingkat pemahaman tentang asbabun nuzul ayat dan sunnah, serta
membuka pikiran untuk memahami makna syariat secara lebih dalam. Oleh karena
itu, semakin banyak seseorang bergaul dengan Rasulullah maka semakin baik
pemahamannya.
3.
Kemampuan dan
kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya perbedaan dalam hal tingkat
pemahaman, hafalan, mengeluarkan hukum (istinbat), dan kemampuan menerjemahkan
isyarat dari nash-nash syariat.[23]
d.
Sumber Tasyri’
pada Masa Sahabat
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban
setelah Rasulullah tiada untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan
mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara
permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan nashnya dan ada yang
belum disebutkan hukumnya. Oleh karena itu.Para sahabat dituntut untuk
mengeluarkan hukum (istinbat)dengan metode yang jelas sesuai dengan
petunjuk Nabi sehingga produk hukum yang digunakan tidak kontradiktif.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab karya Imam Al-Baghawi, Mashabih
As-Sunnah. Dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Jika ada orang yang
berselisih datang kepada Abu Bakar, ia akan melihat kitab Allah. Jika ia
temukan didalamnya apa yang bisa memutuskan perkara mereka, maka ia akan
memutuskan dengannya. Sementara jika tidak ada dalam Kitab Allahdan ia tahu ada
sunnah dari Rasulullah tentang hal itu, maka ia akan memutuskan dengannya.
Kemudian jika tidak ada, Abu Bakar akan keluar menemui kaum muslimin dan
berkata, “Ada yang datang begini dan
begitu, apakah kalian ada yang tahu Rasulullah pernah memutuskan hal itu, atau
ada sekelompok sahabat yang berkumpul lalu baginda Rasulullah menceritakan hal
itu kepada mereka?” Jika ia tidak menemukannya juga dalam sunnah Rasulullah,
maka ia akan mengumpulkan para pemimpin (tokoh) dan orang-orang pilihan dan
bermusyawarah dengan mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu Bakar sudah
menyatukan pendapat mereka tentang sesuatu, maka itulah yang akan menjadi
keputusannya.
Demikian juga halnya dengan Umar, ia melakukan apa yang pernah
dilakukan Abu Bakar, jika ia tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan
sunnah, ia akan melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan hal itu? Jika ia
menemukan keputusan Abu Bakar, maka ia akan memutuskan dengan itu, dan jika
tidak maka ia akan mengundang para pemimpin kaum, dan jika mereka sudah
bersepakat terhadap sesuatu maka ia akan melaksanakan putusan itu.
Dari sini jelaslah bagi kita bahwa sumber pensyariatan
(perundang-undangan) pada masa sahabat adalah :
1.
Al-Qur’an
2.
As-Sunnah
3.
Ijma’
4.
Ijtihad (ra’yi)[24]
Dalam aplikasinya,
sumber-sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-langkah
praktis sebagai berikut :
Pertama, meneliti
dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
Kedua, meneliti
dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika
mereka menemukan nashdalam kitab Allah atau sunnah yang menunjukkan
hukumnya, merekapun berhenti disini dan mencari hukumnya, berusaha memahami
kandungannya. Terkadang mereka sepakat dan terkadang berbeda pendapat yang
disebabkan oleh pemakaian bahasa yang berbeda atau karena kondisi periwayatan.
Ketiga, Ijma’
(kesepakatan bersama), yaitu tidak ada nashdalam kitab Allah atau sunnah
Rasulullah, atau ditemukan namun bersifat global, atau nash nya banyak
dan setiap nash member hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan
diantara manhaj mereka pada waktu inikhalifah mengundang para sahabat
untuk melakukan consensus (ijma’).Jika mereka sepakat, masalah
kemudian dibahas dan saling tukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat
maka itulah yang akan mereka putuskan dan menjadi sebuah hokum yang pasti dan
mengikat, inilah yang dinamakan ijma’.
Keempat, Ijtihad
(ra’yi), ijtihad secara bahasa adalah mencurahkan kemampuan dan
kesungguhan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan para ahli hukum
menggunakannya dalam arti mencurahkan kemampuan dalam mengeluarkan hukum syara'
(parsial) dari dalil-dalil (global) yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah.
e.
Karakteristik
Tasyri’ pada Masa Sahabat
Tasyri’ (perundang-undangan) pada masa sahabat memiliki
karakteristik dan keistimewaan sebagai berikut :
1.
Fiqh pada zaman
ini sangatlah sejalan dan serasi dengan segala permasalahan yang muncul, tidak
hanya terbatas pada apa yang pernah ada pada masa kerasulan. Selain itu juga
yang memegang kendali fatwa dan qadha’ dalam berbagai masalah penting adalah
para khalifah.
2.
Pada masa ini,
Alquran telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan yang dengannya kaum
muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi syariat Islam yang
sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa kelompok.
3.
Pada masa ini
hadis belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali jika ada keperluan yang
mendesak seperti ingin mengetahui tentang hukum suatu masalah, periwayatan
tidak begitu digemari kecuali pada akhir-akhir zaman ini ketika para sahabat
berpencar diberbagai pelosok negeri yang baru ditaklukkan. Jadi, sunnah pada
zaman ini masih terjaga kemurniannya dan tidak terkontaminasi dengan kebohongan
atau penyimpangan karena zaman yang begitu dekat dengan Rasulullah, dan juga
karena para penukilnya adalah para sahabat yang lebih mencintai Rasulullah
daripada dirinya sendiri.
4.
Pada zaman ini
muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan Islam, yaitu ijma’, dan itu
sering terjadi karena memang mudah untuk dilakukan dan semua asbabnya memadai
seperti yang sudah kamu jelaskan.
5.
Pada masa ini
banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan kepada pemahaman tentang illat
hukum baik atau tidaknya.
6.
Para sahabat
tidak mewariskan fiqh yan tertulis yang dapat dirujuk, namun mereka hanya
mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpandalam dada para sahabat dan
disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.[25]
C. Analisis
1.
Sunnatullah
Saya jelaskan bahwa di alam ini ada dua sistem: Pertama, sistem yang
didesain secara khusus untuk mengatur jalannya segala wujud, sehingga semuanya berjalan
dengan rapi dan terartur. Ini disebut dengan sunnatullah, sedangkan
para ilmuan sering menyebutnya dengan istilah hukum alam.
Kedua, sistem yang diturunkan melalui wahyu, untuk mengatur dan menuntun
bagaimana manusia hidup di muka bumi sehingga tidak bertentangan dengan tujuan
yang telah Allah swt. tentukan, ini disebut dengan syari’atullah.
Adapun mengenai sunnatullah siapasaja
yang mematuhinya ia akan mendapatkan manfaat secara duniawi. Tidak ada bedanya antara
orang yang beriman maupun yang tidak. Sebab sunnatullah lebih
berupa hokum kausalitas (sebab akibat). Ia bersifat matematis, siapa yang
bersungguh-sungguh maka akan dapat manfaatanya. Siapa yang makan maka akan
kenyang, sekalipun ia tidak beriman, dan yang tidak makan akan lapar, sekalipun
ia beriman.
Dalam hal ini pernah dicontohkan dengan dua tempat. Satunya masjid dan satunya
tempat maksiat. Secara sunnatullah tempat
maksiat lebih patuh, yaitu di atas bangunan tersebut dipasang penangkal petir.
Sementara masjid mengabaikan sunnatullah, dengan anggapan
bahwa itu tempat ibadah. Maka tidak perlu diberi penangkal petir. Apa yang
terjadi kemudian adalah bahwa tiba-tiba petir menyambar, masjid itu hancur dan tempat
maksiat itu tidak.
Di sini menarik untuk dicatat bahwa hidup di dunia tidak cukup hanya dengan
patuh kepada syariatullah, tetapi juga harus
patuh kepada sunnatullah. Islam bukan hanya ikut syariatullah tetapi juga ikut sunnatullah. Rasulullah saw. Tidak hanya mengajarkan shalat
dan puasa tetapi juga mengajarkan kejujuran dan keadilan, kerapian, kerjakeras,
kedisiplinan, kesungguhan menegakkan hukum (sisi yang kedua ini termasuk sunnatullah).
Dalam kenyataan sehari-hari di tengah umat Islam masih banyak yang tidak
mengambil Islam secara lengkap. Islam hanya diambil sisi syariahnya (baca: ritualnya) saja. Sementara sunnatullah di lapangan social di abaikan.
Kebiasaan korupsi, menipu, sogok menyogok, tidak jujur dianggap pemandangan
yang biasa. Sementara negara-negaramaju,
sangat takut dari kebiasaan seperti ini. Setiap tindakan menipu,
sogok-menyogok, korupsi dan lain sebagainya, sekecil apapun mereka lakukan,
maka akan ditindak secara hukum dengan tegas. Karenanya mereka maju secara keduniaan.
Sementara disisi lain kita menyaksikan orang-orang Islam tidak berdaya.
Mereka mati dipojok masjid, dan tidak bisa memberikan kontribusi bagi kemanusiaan
secara luas. Padahal dalam sejarah Islam, telah terbukti bahwa umat ini pernah memimpin
seperempat dunia, dengan kegemilangan sejarah tak terhingga bagi kemanusiaan.
Puncaknya di zaman Umar Bin Khatthab lalu di zaman Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman
itu tidak ada seorangpun yang didzalimi. Umar bin Khaththab pernah mengumumkan bahwa
anak bayi dari sejak lahir sampai umur lima tahun, ditanggung oleh negara. Dan
ternyata aturan ini kini dipraktikkan di Amerika.
Dalam Islam, semua variable dan contoh-contoh tersebut adalah sunnatullah dan syariatullah sekaligus.
Bahwa Islam bukan hanya sibuk mengurus perbedaan pendapat dalam masalah fikih
seperti qunut, jumlah rakaat tarawih dan lain sebagainya, melainkan menyelamatkan
kemanusiaan adalah juga Islam. Bahwa Islam bukan hanya shalat, dzikir di
masjid-masjid, melainkan berkata jujur, menjauhi sogok menyogok, disiplin,
bekerja keras, transparansi, tidak koupsi dan lain sebagianya adalah juga
Islam.
2.
Tasyri’
Islami
Dari pembahasan diatas, maka kami berpendapat bahwa tasyri’ mengandung
arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
Dan
yang merupakan sumber hukum Islam
pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri. Yang menjadi
sumber dalam penetapan hukum oleh umat pada saat itu, baik dari ayat-ayat Al
Qur’an yang di turunkan Allah SWT maupun dengan pertanyaan yang di ajukan oleh
umat kepada Nabi kemudian di jawab oleh Nabi dengan berdasar sumber utama.
Namun setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang.
Perkembangan ini terjadi karena keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca
wafatnya Nabi, para sahabat mendapatkan kesulitan dalam hal penetapan hukum dan
tidak ada lagi Nabi untuk mereka menanyakan tentang hal permasalahan tersebut,
oleh karena inilah maka sumber hukum Islam yang awalnya hanya Al Qur’an dan
Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.
BAB. III PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah
memperlakukan manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-keteapan atau
hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta.
2.
Sunnatullah mempunyai
3 sifat, yaitu pasti, tetap (tidak berubah) dan objektif.
3.
Kata tasyri’
mengandung arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat
undang-undang.
4.
Sumber
hukum Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri.
5. Namun pada perkembangannya setelah Nabi wafat, hukum
Islam berkembang. Perkembangan ini terjadi karena keadaan yang semakin berbeda
apalagi pasca wafatnya Nabi, para sahabat mendapatkan kesulitan dalam hal
penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi untuk mereka menanyakan tentang hal
permasalahan tersebut, oleh karena inilah maka sumber hukum Islam yang awalnya
hanya Al Qur’an dan Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim Zaidan, Sunnatullah dalam
Berbagai Aspek Kehidupan,Jakarta, Pustaka Azzam, 2004
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia, Surabaya, Pustaka
Progressif, 2002
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,Amzah, Jakarta, 2009
Muhammad 'Imaduddin 'Abdurrahim, Islam
Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, Gema Insani Press, 2002
Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al
Quran, Bandung, Mizan, 1996
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fiqih Tasawuf,
terj. Muhammad Abdul Ghoffar E. M., Bandung, Pustaka Hidayah, 2002
Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah,
dar Al_Ittihad Al-Arabi Littiba’ah,
Kairo, 1975
[2]Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al
Quran, Bandung, Mizan, 1996, hal. 135
[3] Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fiqih Tasawuf,
terj. Muhammad Abdul Ghoffar E. M., Bandung, Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 240
[5] Abdul Karim Zaidan, Sunnatullah dalam
Berbagai Aspek Kehidupan,Jakarta, Pustaka Azzam, 2004, hlm. 25
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Sunnatullah
[9] Muhammad 'Imaduddin 'Abdurrahim, Islam
Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, Gema Insani Press, 2002, hal. 17-18
[13]Ibid., hlm. 1
[14]Ibid
[15] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh…, hlm. 4
[16]Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, dar Al_Ittihad
Al-Arabi Littiba’ah, Kairo, 1975, hlm.16
[17] Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh…, hal. 35
[18]QS. Al-Baqarah
ayat 221
[21]
Rasyad
Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 56
[22]
Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh…, hlm. 59
[23]
Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh…, hlm. 60
[24]
Rasyad
Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 62
[25]
Rasyad Hasan
Khalil, Tarikh…, hlm. 77
Tidak ada komentar:
Posting Komentar