Jumat, 28 November 2014

SUNNATULLAH DAN TASYRI' ISLAMI



BAB. I   PENDAHULUAN


1.    Latar Belakang Masalah
Allah SWT menjadi langit dan bumi beserta isinya. Di langit ada bintang-bintang,  mentari, dan mahkluk angkasa lainnya. Di bumi Allah SWT menciptakan lautan, gunung, binatang, manusia, dan lain sebagainya.Semua ciptaan Allah tersebut hidup dalam keteraturan, keharmonisan dan keserasian.
Coba lihat perputaran matahari, planet dan bulan, mereka tetap berjalan pada porosnya. Tidak berbenturan satu sama lainnya. Seandainya semua itu tidak ada yang mengaturnya tentu akan hancur, dan bumi pun juga akan musnah. Tetapi semua tidak terjadi. Coba bayangkan seandainya dibumi tidak ada malam, niscaya daerah kutup akan mencair, volume lautan meningkat dan lain sebagainya. Seandainya bumi terus-menrus dalam keadaan malam, sinar mentari tidak ada, suhu bumi berada pada posisi nol derajat celsius sudah dapat dipastikan dunia akan beku. Dan begitu seterusnya.
Begitupun dengan kehidupan sosial, penuh dengan keharmonisan dan keteraturan.Ada kaya, ada miskin, ada kuat ada lemah. Dan lain sebagainya. Bias dibayangkan seandainya manusia ssemua kaya, pasti tidak ada yang mau jadi tukang becak, tidak ada tukang cuci, tidak ada angkot dan lain sebagainya. Kehidupan tidak akan indah dan harmonis. Kaya tidak ada artinya, kuat tidak bermakna. Adanya kaya, miskin, kuat, lemah, sehat, sakit, tinggi pendek, pintar, bodoh, gelap, terang, baik, buruk, air mengalir dari tempat tinggi ketempat rendah dan seterusnya merupakan ketetapan Allah yang berlaku sepanjang masa pada kehidupan kemasyarakatan. Ketetapan itu disebut dengan hukum-hukum alam, hukum kemasyarakatan atau sunnatullah. Ketetapan itu tidak berubah dan beralih sebagaimana yang disinyalir dalam banyak ayat al-Qur'an.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menfokuskan pembahasan ini pada apa itu sunnatullah.


2.    Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud dengan sunnatullah?
2.    Bagaimanakah karakteristik dari sunnatullah?
3.    Bagaimanakah klasifikasi/pengelompokan dari sunnatullah?
4.    Ada berapa macam sunnatullah itu?
5.    Apakah yang dimaksud dengan tasyri’ Islami?
6.    Apa sajakah yang terdapat dalam ruang lingkup tasyri’ Islami?
7.    Bagaimanakah penetapan dan sumber hukum pada masa Nabi Muhammad saw?
8.    Dan bagaimana pula sumber hukum pada masa sahabat?



BAB. II   PEMBAHASAN


A.   SUNNATULLAH
1.    Pengertian Sunnatullah
Sunnatullâh merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu sunnah (ﺳﻨﺔ) dan Allah (ﺍﻟﻠﻪ). Dengan digabungkannya dua kata tersebut, maka menjadi susunan iḍafiah (ﺇﺿﺎﻓﻴﺔ), susunan kata yang terdiri dari kata yang berpredikat sebagai mudlof (kata yang disandari) dan mudlof ilaihi (kata yang disandarkan). Kata sunnat berkedudukan sebagai mudlof (ﻣﻀﺎﻑ) dan kata Allah berkedudukan sebagai mudlof ilaihi (ﻣﻀﺎﻑﺍﻟﻴﻪ) nya. Di dalam bahasa arab, kata sunnat dengan fi'il madli (kata kerja untuk masa lampau) nya sanna ini mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah, tharīqat (jalan, cara, metode), as-sīrat (peri kehidupan, perilaku), thabī'at (tabiat, watak), asy-syrī'at (syariat, peraturan, hukum) atau dapat juga berarti suatu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi (kebiasaan).[1]
Menurut Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah, sunnat adalah kebiasaan yang dilakukan kedua kalinya seperti apa yang dilakukan pertama kalinya. Sedangkan menurut Ar Razi, sunnat adalah jalan yang lurus dan tauladan yang diikuti. Diantara pendapat kedua tokoh Islam dan beberapa pendapat lain tentang arti kata sunnat, makna sunnat berkisar pada jalan yang diikuti. Dan secara umum, kata sunnat digunakan oleh al-Qur’ān sebagai cara atau aturan.[2]
Sedangkan kata Allah adalah nama bagi Dzat Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta dan Maha Adil, dan Maha Segalanya. Setiap nama Allah mencakup diri-Nya dan juga yang lainnya. Bersifat hakiki untuk-Nya dan majazi bagi yang lainnya. Di dalamnya terkandung makna rubūbiyah (ketuhanan) dan seluruh makna itu tercakup di dalamnya.
Nadhr Bin Syāmil berkata, kata Allah diambil dari kata at-ta'alluh (ﺍﻟﺘﻌﻠﻪ) yang berarti ibadah. Ulama yang lain berkata, kata itu diambil dari kata al-ilāh yang berarti menjadi sandaran. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kata itu berarti al- muhtajib (ﺍﻟﻤﺤﺘﺠﺐ), yang menutupi.[3]
Lebih lanjut mengenai hal ini, di dalam al-Qur’ān surat al-Hadīd ayat 3 dijelaskan bahwa Allah adalah Dzat Yang Awal dan Yang Akhir, Yang ẓahir dan Yang Batin, dan Dia adalah Dzat Maha mengetahui segala sesuatu, meliputi seluruh yang ada di alam semesta ini.
Jadi, sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-ketetapan atau hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta.[4]
Sedangkan, di antara beberapa pengertian secara terminologis yang menurut penulis lebih mencakup adalah bahwa Sunnatullāh adalah sebagai jalan yang dilalui dalam perlakuan Allah terhadap manusia sesuai dengan tingkah laku, perbuatan dan sikapnya terhadap syariat Allah dan Nabi-Nya dengan segala implikasi nilai akhir di di dunia dan akhirat.[5]

2.    Karakteristik Sunnatullah
Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta, atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Diantara karakter/sifat sunnah atau ketetapan Allah antara lain:
a.    Selalu ada dua kondisi yang saling ekstrem(berlawanan), seperti surga-neraka, benar-salah, baik-buruk.
b.    Segala sesuatu diciptakan secara berpasangan (dua atau lebih).
c.    Selalu terjadi pergantian dan perubahan antara dua kondisi yang saling berbeda, seperti  siang-malam, panas-dingin.
d.   Setiap perubahan, penciptaan maupun penghancuran selalu melewati proses.
e.    Alam yang diciptakan dalam keadaan seimbang, teratur dan terus berkembang.
f.     Setiap terjadi kerusakan di alam manusia, Allah mengutus seorang utusan untuk memberi peringatan atau memperbaiki kerusakan tersebut.[6]

3.    Klasifikasi/Sifat Sunnatullah
Bukan terjadi karena kebetulan, akan tetapi terjadi disebabkan adanya ketentuan-ketentuan baku yang mengatur terjadinya suatu kejadian. Penciptaan alam semesta dan seluruh makhluk yang ada, termasuk manusia diciptakan bukan untuk main-main (La'b) atau kepalsuan (Bāthil), penciptaan yang tanpa maksud dan tujuan.
Secara global, aturan-aturan tersebut di bagi ke dalam dua segi, yang pertama adalah aturan yang semua makhluk hidup tunduk kepadanya dalam eksistensinya sebagai benda, begitu juga semua kejadian yang dialami oleh benda itu. Tunduk pula keberadaan manusia dengan segala perkembangannya. Segi aturan pertama ini dialami oleh seluruh makhluk dan benda yang ada, termasuk manusia. Pergantian siang dan malam, gunung meletus, proses kelahiran dan perkembangan biologis manusia dan lain sebagainya. Dalam segi aturan global pertama ini para ahli tidak ada yang mengingkari akan keberadaan hukumnya.[7]
Dan yang kedua, aturan yang berhubungan dengan tunduknya manusia pada aturan sebagai makhluk individu dan sosial. Ketundukan di sini dimaknai sebagai ketundukan manusia dalam kehidupannya. Baik tingkah laku, baik dan buruknya, kebagiaan dan kesedihannya, terhormat dan hinanya, kuat dan lemahnya, adzab dan nikmatnya serta segala sesuatunya yang disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan aturan ini. Di sinilah fungsi adanya syari'at, dengan kitab suci dan hadits-hadits nabinya, berperan sebagai penjelas. Pembagian ini lebih disinkronkan dengan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai 'Abd (hamba Allah) dan khalifah di muka bumi.[8]
Dari kedua kategori global tersebut, ada tiga sifat utama Sunnatullāh yang diterangkan di dalam al-Qur’ān dan dapat ditemukan dalam riset oleh setiap saintis yaitu:
Pertama, exact (pasti). Sebagaimana disebutkan ayat-ayat muhkamat di dalam firman Allah swt, yang artinya antara lain :
Artinya: Yang kepunyan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segal sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya. (QS. Al Furqān ayat 2)
Artinya: Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan-ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalāq ayat 3).
Dengan sifat Sunnatullāh ini manusia mendapat jaminan yang memberi kemudahan bagi manusia dalam suatu rencana berdasarkan perhitungan. Hal inilah, secara fungsional mendorong manusia untuk berkreasi dan meningkatkan proses kemanusiaannya menuju kepada yang lebih baik.[9]
Kedua. Immutable, tetap atau tidak berubah. Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah swt, yang artinya :
Artinya, Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS. Al-Isra’ayat 77).
Dengan adanya sifat seperti ini, manusia dapat memahami suatu fenomena yang terjadi di alam ini dengan mengamati relasi-relasi konsisten yang ada di dalamnya. Sehingga memberikan keyakinan bagi manusia dalam menjalani tugas dan tanggung jawabnya di dalam kehidupan dunia ini.[10]
Ketiga. Objective. Dengan sifat Sunnatullāh ini dapat difahami bahwa, siapapun yang melakukan kehidupannya di dunia ini dengan mematuhi ketentuan-ketentuan di dalam Sunnatullāh, maka ia akan memperoleh apa yang menjadi tujuannya. Dan sebaliknya, barang siapa yang tidak mengikuti Sunnatullāh secara konsisten, maka ia tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. Dalam ranah inilah terminologi 'amal shālih diartikan sebagai perbuatan yang sesuai dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Sunnatullāh.[11]
Sebagaimana yang termaktub di dalam Alqurān yang artinya,
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermcam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ”Bilakah datangnya pertolongan Allah?” ingatlah, sesungguhnnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah ayat 214)

4.    Macam-Macam Sunnatullah
Sunnatullah terdiri dari dua macam, yaitu :
a.    Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang tertulis dalam bentuk lembaran atau dibukukan, yaitu Al-Qur’an.
b.    Sunnatullah kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan berupa kejadian atau fenomena alam. Contohnya, matahari terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat.

B.       TASYRI’ ISLAMI
1.        Pengertian Tasyri’ Islami
Kata tarikh barasal dari kata “ta’rikh” dengan kata kerja (fi’il) arrakha yang berarti menentukan waktu terjadinya sesuatu.Kata ini terkadang juga digunakan untuk menunjukkan waktu terjadinya sesuatu, mencakup semua kejadian yang terjadi pada waktu itu dalam berbagai keadaan.[12]
Sedangkan kata tasyri’ adalah bentuk mashdar (verbal noun) dari kata kerja syarra’a yang berarti membuat syariat.Penutur asli bahasa Arab menggunakan kata ini untuk dua arti berikut.
a.    Jalan yang lurus. Terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Jatsiyah (45) ayat 18.
b.    Air mengalir yang biasa digunakan untuk minum, sebagaimana ucapan orang Arab ;Syara’at al-ibil berarti (unta itu tengah pergi mencari tempat air).[13]
Sedangkan menurut terminology fuqaha’, kata syariat dipakai untuk menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya melalui lisan seorang rasul.[14]
Merujuk kepada pengertian diatas, kata tasyri’ mengandung arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
Jika demikian halnya, kata tasyri’Islami hanya terjadi pada waktu Rasulullah SAW masih hidup saja karena baginda adalah penyampai dari Rabbnya, sedangkan setelah baginda wafat tidak ada satu orang pun yang memiliki kapasitas ini, sebab baginda adalah penutup para nabi dan rasul.
Sebab, syariat Islam sudah sempurna di zaman baginda masih hidup. Sebagaimana firman Allah SWT,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً
Artinya, …pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah (5) ayat 3).
      Sepeninggal Rasulullah, ijtihad para sahabat dan tabi’in praktis tidak ternasuk tasyri’ dalam arti yang sesungguhnya, melainkan hanya bersifat tausi’i (perluasan) dalam penerapan kaidah-kaidah kulli (makro) dan mengaplikasikannya dalam masalah-masalah juz’iy (mikro) yang terus berkembang, meng-istinbat (mendeduksi) hukum dari sumbernya untuk memahami hadis dan mengqiyaskan pemahamannya.
Dengan begitu, tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas tentang kondisi fiqh Islam pada zaman Rasulullah dan seterusnya dengan menentukan fase-fase perkembangan sumber-sumber syariat dan hukumnya, menjelaskan setiap perubahan yang terjadi berupa naskh (amandemen), takhshih (pengkhususan), dan tafri’ (penjabaran).Ilmu tarikh tasyri’ juga mengkaji tentang kondisi para fuqaha’ (ahli fiqih) pada setiap fase (marhalah), menelaah metodologi meraka dalam menetapkan sebuah hokum serta warisan keilmuan dan ijtihad yang terhimpun dalam fiqh Islam.[15]

2.    Azas Hukum Tasyri’
¢OèOy7»oYù=yèy_4n?tã7pyèƒÎŽŸ°z`ÏiB̍øBF{$#$yg÷èÎ7¨?$$sùŸwurôìÎ7®Ks?uä!#uq÷dr&tûïÏ%©!$#ŸwtbqßJn=ôètƒ
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Ayat inilah yang menjadi asas atau dasar Tasyri’ dalam Al Qur’an, yang kemudian berkembang kedalam Hukum Islam lainnya.[16]

3.    Ruang Lingkup Tarikh Tasyri’ Islami
Tasyri’ Islami dengan makna istilah yang sudah disebutkan sebelumnya, mencakup semua jenis hukum yang ditetapkan Allah kepada hambanya yang terdiri dari :
a.    Al-Ahkam al-I’tiqadiyah (hukum-hukum teologis), yaitu semua hokum yang berkaitan dengan aqidah Islam seperti tauhid kepada Allah, kerasulan, para malaikat, jin, hari kiamat, hari mahsyar, pembalasan, surga, dan neraka. Semuanya dijelaskan secara lengkap dalam kitab tauhid atau ilmu kalam.
b.    Al-Ahkam al-wijdaniyah (hukum-hukum yang berkaitan dengan intuisi/hati), yaitu setiap yang berkaitan dengan masalah akhlak batin, perasaan jiwa seperti zuhud, wara’, sabar, bijak, iffah, dermawan, dan yang lainnya. Semua pembahasan ini dijelaskan dalam kitab akhlak dan tassawuf.
c.    Al-Ahkam al-‘amaliyah (hukum-yang berkaitan dengan amal perbuatan), yaitu setiap perbuatan indrawi/amali seorang hamba seperti shalat, zakat, jual beli, sewa-menyewa, maninggalkan riba, minuman keras dan mencuri. Semua dijelaskan secara lengkap dalam kitab fiqh.

4.    Periodisasi Perkembangan Hukum Islam (Tasyri’ Islam)
Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan syariat Islam, diantara mereka ada yang menjadikan pembagian syariat Islam sama seperti perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak-kanak, dewasa dan zaman tua, demikian juga halnya dengan syariat Islam dalam perkembangan dan perjalanannya.
Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqh, mereka menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan syariat Islam. Sebagian mengatakan empat fase, sebagian lagi mengatakan ada lima, ada yang enam, dan ada juga pendapat lain yang mengatakan tujuh.
Pendapat yang lebih tepat dan kami pilih dari pembagian ini, yaitu pendapat yang mengatakan ada empat fase sebagai berikut :
1.    Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah SAW, sehingga dapat kita istilahkan sebagai fase penurunan dan kedatangan wahyu.
2.    Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai zaman pertengahan abad keempat hijriah.
3.    Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad keempat sampai abad dua belas hijriah.
4.    Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad dua belas hijriah sampai sekarang ini.





A.      Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat
1.        Syariat pada Masa Kerasulan
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah saw dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a.    Kesempurnan dasar dan sumber-sumber utama fiqh Islam pada masa ini.
b.    Setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah saw dalam meng-istinbat(mengeluarkan) hukum syar’i.
c.    Periode-periode setelah era kerasulan (sepeninggal Rasulullah saw) tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqh dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah saw.[17]

2.    Rentang Waktu Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam pada Masa Kerasulan
Fase ini dimulai sejak diutusnya Rasulullah saw pada tahun 610 M hingga wafatnya baginda Rasulullah saw pada tahun kesepuluh hijriah. Jadi, secara keseluruhan fase ini berlangsung selama dua puluh tiga tahun.

3.    Tahapan Tasyri’ pada Masa Kerasulan
Fase ini bermula ketika Allah swt mengutus nabi Muhammad saw membawa wahyu berupa Alquran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jum’at 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijriah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah saw di Mekah selama tiga belas tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah dan ditempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai Rasulullah saw wafat pada tahun 11 hijriah.
Terkadang wahyu turun kapada Rasulullah saw dalam bentuk Alquran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Rasulullah, atau yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadis. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan Islam ditetapkan dan ditentukan (Alquran dan Hadits).
Atas dasar ini, perundang-undangan pada masa Rasulullah mengalami dua periode istimewa, yaitu periode legislasi hukum syariat di Mekah yang dinamakan perundang-undangan era Mekah (at-tasyri’ al-makki) dan periode legislasi hukum syariat di Madinah yang kemudian disebut perundang-undangan era Madinah (at-tasyri’ al-madani).
a.    Tasyri’Periode Mekah
Periode terhitung sejak diangkatnya nabi Muhammad menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke Madinah.Periode ini berlangsung selama 10 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini lebih focus pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membeersihkan akidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah, selain menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia kepada dua arahan utama :
1.    Mengokohkan akidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah swt dan bukan yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul dan hari akhir.
2.    Membentuk akhlak agar manusia memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat-sifat tercela.
b.   Tasyri’ Periode Madinah
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasululah dari Mekah hingga beliau wafat.Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah Islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak.
Secara umum, semua hukum baik yang berupa perintah atau larangan kepada mukallaf turun pada fase ini, kecuali hanya sedikit seperti hukum shalat yang diturunkan pada waktu malam isra’ dan mi’raj satu tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah.Selain yang ini berupa ibadah, muamalah, jinayah, hudud, warisan, wasiat, pernikakan, dan talak semuanya turun pada fase ini.
Adapun contoh dari ayat-ayat hukum yang turun pada periode Madinah seperti: 
1.    Peristiwa Martsad Ganawi. Martsad Ganawi adalah utusan Rasulullah sawdari madinah ke Mekah. Setibanya dia di kota tersebut ia dilamar oleh seorang wanita musyrik yang kaya dan cantik, namun Martsad Ganawi tidak segera memberikan putusan karena wanita tersebut belum masuk Islam. Selanjutnya dia melaporkan hal tersebut kepada Nabi dan turunlah hukum tentang perkawinan antar agama yang melarang perkawinan dengan wanita musyrik begitu juga sebaliknya perempuan beriman yang dinikahi oleh laki-laki musyrik.[18]
2.  Peristiwa janda Sa’ad bin rahi. Janda ini mempunyai dua orang anakperempuan dan mempunyai warisan dari suaminya. Menurut kebiasaan orang-orang Arab, mereka tidaklah mendapat apa-apa dari warisan tersebut dan beralih kepada saudara laki-laki dari Sa’ad. Maka hal ini diadukan janda sa’ad kepada Nabi saw., dan kemudian turunlah ayat tentang hukum warisan.[19]
3. Turunya ayat Al Qur’an tentang hukum larangan berperang pada bulan-bulan dan tempat-tempat yang diharamkan oleh Allah SWT, untuk berperang.[20]

4.    Sumber Tasyri’ pada Fase Kerasulan
Sumber perundang-undangan hukum Islam (tasyri’) pada fase ini terhimpun dalam satu sumber, yaitu wahyu yang turun kepada Rasulullah dari sisi Allah.
Wahyu sendiri ada dua macam, yaitu wahyu yang terbaca, yaitu Alquran, dan wahyu yang tidak dibaca yaitu sunnah nabawiyyah.
a)    Pertama ; Alquran Al-Karim
Alquran Al-Karim adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw dianggap ibadah membacanya, menjadi penantang dengan surah terpendek darinya, diawali dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan Surah An-Nas.
Alquran merupakan sumber pertana dan utama bagi perundang-undangan Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang dan peraturan.

b)        Kedua ; As-Sunnah An-Nabawiyyah
As-Sunnah An-Nabawiyyah adalah setiap yang keluar dari Rasulullah saw, baik berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan.
As-Sunnah menempati urutan kedua setelah Alquran karena ia menjadi penguat, penjelas, penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam Alquran.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang diturunkan global sebagaimana firman Allah swt : “Dan dirikanlah shalat”. Ini adalah nash global dalam pensyariatan shalat, sedangkan dari segi waktu, jumlah rakaat, dan rukunnya dijelaskan oleh As-Sunnah dengan sabda Rasulullah saw :Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya shalat.
As-Sunnah juga menjelaskan hukum sesuatu yang didiamkan oleh Alquran, hal ini dapat dilihat dalam banyak masalah, diantaranya kaharaman menggabungkan (memadu) antara seorang wanita dengan bibinya (baik dari garis bapak atau ibu). Hal ini dinyatakan Rasulullah saw, dalam sabda : “Tidak boleh seorang suami memadu antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis bapak) dan juga tidak boleh antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis ibu). Ketentuan ini sebelumnya tidak diterangkan dalam Alquran.
As-Sunnah juga datang sebagai penegas terhadap hokum yang ada dalam Alquran seperti haramnya mencuri, riba, dan memakan harta orang lain dengan cara bathil.


5.    Metode Pensyariatan pada Fase Ini
Nabi Muhammad saw. Menyampaikan syariat (perundang-undangan) pada fase ini melalui beberapa cara, diantaranya :
1)   Memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang muncul atau yang ditanyakan oleh para sahabat, lalu beliau memberi jawaban terkadang dengan satu ayat atau beberapa ayat dari Alquran yang memang turun sebagai jawabannya. Sebagaimana firman Allah swt,
يَسْأَلُونَكَمَاذَايُنْفِقُونَۖقُلْمَاأَنْفَقْتُمْمِنْخَيْرٍفَلِلْوَالِدَيْنِوَالْأَقْرَبِينَوَالْيَتَامَىٰوَالْمَسَاكِينِوَابْنِالسَّبِيلِۗوَمَاتَفْعَلُوامِنْخَيْرٍفَإِنَّاللَّهَبِهِعَلِيمٌ

Artinya, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “apa saja yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. ‘Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah (2) ayat 215).
2)   Terkadang Rasulullah member jawaban dengan ucapan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Rasulullah kepada sebagian sahabat ketika ada yang bertanya, “Kami menyebrangi lautan apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Beliau menjawab, “Ia suci airnya dan halal bangkainya.”

6.    Ijtihad Nabi
Yang dimaksudkan dengan ijtihad Nabi adalah mengeluarkan hukum syariat yang tidak ada nash nya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya Rasulullah berijtihad kedalam kedua kelompok besar :
Pertama, kalangan Asy’ariyah dari ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah. Mereka berpegang teguh bahwa Rasulullah tidak boleh berijtihad sendiri. Diantara dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah swt,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

Artinya, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (QS. An-Najm ayat 3-4).
Ayat ini menafikan bahwa Rasulullah menetapkan sebuah hukum berdasarkan pendapat pribadi yang tidak ada wahyu dengan itu karena setiap permasalahan yang muncul, Rasulullah selalu berharap ada wahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun maka itu pasti benar tidak ada yang salah. Dan jika Rasulullah berijtihad dengan pendapatnya sendiri maka ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah, dan jika memang ia benar atau lebih dekat dengan kebenaran maka tidak boleh ditinggalkan lalu mengamalkan yang masih belum pasti selama yang pertama masih bisa diamalkan.
Dalil ini disanggah karena hujjah (alasan) yang disebutkan tidak dapat diterima, sebab kata ganti “huwa” dalam ayat “in huwa illa wahyun yuha” (ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan) kembali kepada Alquran, karena ayat ini turun sebagai jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa Alquran adalah rekayasa Muhammad. Ayat ini turun dengan sebab khusus, sehingga makna yang sesuai adalah bahwa ayat yang dibaca oleh Muhammad bukan keluar dari hawa nafsu melainkan wahyu dari Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut hanya khusus untuk kasus Alquran, dan tidak dapat digeneralisir pada keseluruhan ucapan Rasulullah saw.
Seandainya kita sepakat ada makna umum, maka ijtihadnya Nabi saw. Tidak sama dengan ijtihadnya orang lain karena ia juga akan berakhir dengan wahyu. Karena jika baginda tepat dalam ijtihadnya, pastilah wahyu akan mengakuinya dan jika salah maka wahyu akan selalu mengarahkannya.
Kedua, mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam setiap urusan, Rasulullah boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya, dalil mereka ;
Nabi Muhammad diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman Allah, “Maka carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”.Artinya bandingkan antara kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah ada hukumnya jika ada kemiripan antara keduanya dalam illat dan ini adalah salah satu bentuk ijtihad.
Ada sejumlah riwayat dari Rasulullah saw, yang menjelaskan bahwa beliau diberi hak memilih dalam beberapa kejadian :
      i.     Sabda Rasulullah, “Seandainya tidak terlalu memberatkan umatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shalat.” Hadis ini menerangkan bahwa Rasulullah telah meletakkan satu hukum kepadanya, selain itu hadis ini menjelaskan seandainyan tidak ada masyaqqah (kesusahan) dalam praktik pelaksanaan siwak setiap jelang shalat pada diri kaum muslimin, maka pastilah Rasulullah akan memerintahkan mereka untuk bersiwak.
    ii.     Sabda Rasulullah, “kalau bukan karena kaummu masih dekan dengan zaman kekufuran pastilah aku mendirikan ka’bah sesuai dengan bangunan Ibrahim.
Adapun contoh ijtihad Rasulullah saw, antara lain ketika beliau memberikan izin kepada orang-orang munafik yang meminta izin untuk tidak ikut dalam perang Tabuk, maka turunlah ayat,
Artinya, Semoga Allah memaafkanmu.Mengapa kamu member izin kepada mereka, sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS. At-Taubah (9) ayat 43).
Dari sini jelaslah bahwa ijtihadnya Nabi memang telah terjadi dalam perkara yang tidak ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika Rasulullah salah dalam salah satu ijtihadnya maka wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi akan meluruskannya.

7.    Karakteristik Perundang-Undangan pada Masa Kerasulan
Beberapa karakteristik perundang-undangan pada masa kerasulan adalah sebagai berikut :
a.    Sumber perundang-undangan zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan dua bagiannya, baik yang terbaca yaitu Alquran, ataupun yang tidak terbaca yaitu As-Sunnah/Hadis.
b.    Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini adalah Rasulullah SAW sendiri, sebab Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah.
c.    Perundang-undangan Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan kaidah dan dasarnya sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 3.
d.   Kesempurnaan syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus, dimana kitab Allah dan Sunnah Rasulullah memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali serta berjalan diatas behteranya yang memuat produk perundang-undangan yang elastic dan sesuai untuk segala kondisi dan zaman sehingga sangat mudah bagi para mujahid untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum tersebut dan menerapkannya dalam masalah cabang berdasarkan illat hukum yang ada sehingga tidak ada satu masalah baru yang muncul kecuali jawabannya ada dalam kitab Allah.
e.    Fiqh Islam dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini.
f.     Pada masa Rasulullah, jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah akan menjawabnya, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada ditempat maka para sahabat akan berijtihad sendiri, kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah untuk ditetapkan atau dibatalkan.
g.    Belum terlihat pada zaman ini ada masalah-masalah yang bersifat iftiradhiyah (hipotesis), semua masalah lahir dari realitas hidup yang perlu dijelaskan hukumnya.[21]

B.   Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
Fase ini memakan waktu yang sangat panjang, mulai dari tahun 11 hijriah sampai akhir abad 14 hijriah.Dalam fase ini terdapat 3 tahapan, yaitu 1.Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin, 2. Masa Dinasti Umayyah, 3. Masa Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi dalam pembahasan ini, kami hanya akan menjelaskan mengenai tasyri’ pada masa sahabat saja.
1.    Tasyri’ pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Periode ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqh Islam.Periode ini berawal dari zaman wafatnya Rasulullah pada tahun 11 hijriah sampai akhri zaman khulara’ar rasyidin pada tahun 40 hijriah.
Setelah hukum-hukum sempurna pada masa kerasulan, lalu pindah ke masa sahabat, mereka harus memikul tanggung jawab mencari sumber-sumber syariat yang ada agar dapat menjawab segala perkembangan dan kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada nash nya dalam Alquran atau sunnah.
a.    Definisi Sahabat
Adapun yang dimaksud dengan sahabat menurut terminology para ulama fiqh adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw, dalam status beriman kepadanya, dan meninggal dunia dalam keadaan beriman pula.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat tentang lamanya interaksi/pergaulan (shuhbah)dengan Rasulullah dan banyaknya periwayatan Nabi.Sebagian mereka mensyaratkan seorang sahabat harus bergaul dengan Nabi selama satu atau dua tahun dan pernah berperang bersama baginda Rasulullah walaupun hanya sekali atau dua kali.
Sebagian ulama ada yang tidak memberikan syarat seperti diatas, sehingga setiap orang yang bertemu dengan Nabi adalah sahabat, lepas dari apakah ia lama atau sebentar bergaul dengan Rasulullah, juga apakah ia pernah meriwayatkan hadis dari Nabi atau tidak, pernah berperang atau tidak bersama beliau. Singkat kata,  siapa yang pernah melihat baginda Rasulullah walaupun tidak sempat duduk bersama beliau juga dinamakan sahabat, termasuk juga orang yang tidak sempat melihat karena ada kendala seperti buta. Namun, ada ulama yang memberikan syarat harus melihat pada waktu ia berusia tamyiz.
Menurut pendapat yang kedua, jumlah para sahabat sangat banyak. Abu Zur’ah menuturkan bahwa ketika wafat, Rasulullah meninggalkah 114.000 orang sahabat yang pernah meriwayatkan hadis Nabi, dalam riwayat lain termasuk orang yang pernah melihat dan mendengar dari Rasulullah. Abu Zur’ah ditanya, “Dimana mereka dan dimana mereka mendengar hadis Nabi?” Ia Menjawab, “Dia terlihat oleh penduduk Madinah, penduduk Mekah dan diantara keduanya, orang-orang Arab badui, orang yang bersama Nabi pada waktu haji wada’, dan setiap orang yang melihat dan mendengar Nabi di Arafah.

b.   Kelebihan Para Sahabat dalam Memahami Syariat
Para sahabat memiliki keistimewaan tersendiri dalam memahami syariat Islam dibandingkan orang lain, disebabkan beberapa factor sebagai berikut :
1.    Mereka sangat dekat dan bertemu langsung dengan Nabi sehingga memudahkan mereka untuk mengetahui asbabun nuzul ayat dan hadis. Mereka juga menetahui penafsiran Rasulullah tentang beberapa ayat selain juga mengetahui illat hukum dan hikmahnya yang hasilnya dapat memudahkan mereka untuk melakukan qiyas terhadap nash-nash yang ada kemiripan lalu menetapkan hukumnya.
2.    Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa Alquran sehingga mudah untuk memahami makna Alquran sebab diturunkan dengan bahasa Arab.
3.    Mereka menghafal Alquran dan sunnah Rasulullah, menjadi orang pertama yang mempelajari ilmu syariat dan hukumnya.[22]

c.    Perbedaan dalam Memahami Syariat di Kalangan Sahabat
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya sebagai berikut :
1.    Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan carapemakaiannya, tetapi ada jiga yang tidak bisa. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab  ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnya, “Átau Allah mengazab mereka menghina (takhawwufin), kemudian Umar bertanya kapada hadirin tentang maknatakhawwufin, “apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwufin itu? “Lalu berdirilah seorang yang sudah berusia lanjut dari kabilah Huzail dan berkata, “ini bahasa kami dan takhawwufin artinya menghina (tanaqqush)”. Umar berkata, “Apakah orang Arab tahu ini dalam syair mereka?” Ia menjawab,”Ya”, dan diapun menyebutkan sebuah bait syair untuk meperkuat ucapannya. Umar berkata, “Jagalah syair kalian dan kalian tidak akan tersesat. “Para sahabat bertanya, “Apa itu syair (diwan) kami?” Umar menjawab, “Syair Jahiliah, sebab didalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian dan makna ucapan kalian.”
2.    Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah, sebab bergaul dengan Rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbabun nuzul ayat dan sunnah, serta membuka pikiran untuk memahami makna syariat secara lebih dalam. Oleh karena itu, semakin banyak seseorang bergaul dengan Rasulullah maka semakin baik pemahamannya.
3.    Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengeluarkan hukum (istinbat), dan kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash-nash syariat.[23]

d.   Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah Rasulullah tiada untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan nashnya dan ada yang belum disebutkan hukumnya. Oleh karena itu.Para sahabat dituntut untuk mengeluarkan hukum (istinbat)dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi sehingga produk hukum yang digunakan tidak kontradiktif.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab karya Imam Al-Baghawi, Mashabih As-Sunnah. Dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Jika ada orang yang berselisih datang kepada Abu Bakar, ia akan melihat kitab Allah. Jika ia temukan didalamnya apa yang bisa memutuskan perkara mereka, maka ia akan memutuskan dengannya. Sementara jika tidak ada dalam Kitab Allahdan ia tahu ada sunnah dari Rasulullah tentang hal itu, maka ia akan memutuskan dengannya. Kemudian jika tidak ada, Abu Bakar akan keluar menemui kaum muslimin dan berkata,  “Ada yang datang begini dan begitu, apakah kalian ada yang tahu Rasulullah pernah memutuskan hal itu, atau ada sekelompok sahabat yang berkumpul lalu baginda Rasulullah menceritakan hal itu kepada mereka?” Jika ia tidak menemukannya juga dalam sunnah Rasulullah, maka ia akan mengumpulkan para pemimpin (tokoh) dan orang-orang pilihan dan bermusyawarah dengan mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu Bakar sudah menyatukan pendapat mereka tentang sesuatu, maka itulah yang akan menjadi keputusannya.
Demikian juga halnya dengan Umar, ia melakukan apa yang pernah dilakukan Abu Bakar, jika ia tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan sunnah, ia akan melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan hal itu? Jika ia menemukan keputusan Abu Bakar, maka ia akan memutuskan dengan itu, dan jika tidak maka ia akan mengundang para pemimpin kaum, dan jika mereka sudah bersepakat terhadap sesuatu maka ia akan melaksanakan putusan itu.
Dari sini jelaslah bagi kita bahwa sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah :
1.    Al-Qur’an
2.    As-Sunnah
3.    Ijma’
4.    Ijtihad (ra’yi)[24]
      Dalam aplikasinya, sumber-sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-langkah praktis sebagai berikut :
      Pertama, meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
      Kedua, meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka menemukan nashdalam kitab Allah atau sunnah yang menunjukkan hukumnya, merekapun berhenti disini dan mencari hukumnya, berusaha memahami kandungannya. Terkadang mereka sepakat dan terkadang berbeda pendapat yang disebabkan oleh pemakaian bahasa yang berbeda atau karena kondisi periwayatan.
      Ketiga, Ijma’ (kesepakatan bersama), yaitu tidak ada nashdalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah, atau ditemukan namun bersifat global, atau nash nya banyak dan setiap nash member hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan diantara manhaj mereka pada waktu inikhalifah mengundang para sahabat untuk melakukan consensus (ijma’).Jika mereka sepakat, masalah kemudian dibahas dan saling tukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat maka itulah yang akan mereka putuskan dan menjadi sebuah hokum yang pasti dan mengikat, inilah yang dinamakan ijma’.
      Keempat, Ijtihad (ra’yi), ijtihad secara bahasa adalah mencurahkan kemampuan dan kesungguhan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan para ahli hukum menggunakannya dalam arti mencurahkan kemampuan dalam mengeluarkan hukum syara' (parsial) dari dalil-dalil (global) yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah.

e.    Karakteristik Tasyri’ pada Masa Sahabat
Tasyri’ (perundang-undangan) pada masa sahabat memiliki karakteristik dan keistimewaan sebagai berikut :
1.    Fiqh pada zaman ini sangatlah sejalan dan serasi dengan segala permasalahan yang muncul, tidak hanya terbatas pada apa yang pernah ada pada masa kerasulan. Selain itu juga yang memegang kendali fatwa dan qadha’ dalam berbagai masalah penting adalah para khalifah.
2.    Pada masa ini, Alquran telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan yang dengannya kaum muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi syariat Islam yang sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa kelompok.
3.    Pada masa ini hadis belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali jika ada keperluan yang mendesak seperti ingin mengetahui tentang hukum suatu masalah, periwayatan tidak begitu digemari kecuali pada akhir-akhir zaman ini ketika para sahabat berpencar diberbagai pelosok negeri yang baru ditaklukkan. Jadi, sunnah pada zaman ini masih terjaga kemurniannya dan tidak terkontaminasi dengan kebohongan atau penyimpangan karena zaman yang begitu dekat dengan Rasulullah, dan juga karena para penukilnya adalah para sahabat yang lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri.
4.    Pada zaman ini muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan Islam, yaitu ijma’, dan itu sering terjadi karena memang mudah untuk dilakukan dan semua asbabnya memadai seperti yang sudah kamu jelaskan.
5.    Pada masa ini banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan kepada pemahaman tentang illat hukum baik atau tidaknya.
6.    Para sahabat tidak mewariskan fiqh yan tertulis yang dapat dirujuk, namun mereka hanya mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpandalam dada para sahabat dan disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.[25]

C.   Analisis
1.    Sunnatullah
Saya jelaskan bahwa di alam ini ada dua sistem: Pertama, sistem yang didesain secara khusus untuk mengatur jalannya segala wujud, sehingga semuanya berjalan dengan rapi dan terartur. Ini disebut dengan sunnatullah, sedangkan para ilmuan sering menyebutnya dengan istilah hukum alam.
Kedua, sistem yang diturunkan melalui wahyu, untuk mengatur dan menuntun bagaimana manusia hidup di muka bumi sehingga tidak bertentangan dengan tujuan yang telah Allah swt. tentukan, ini disebut dengan syari’atullah.
Adapun mengenai sunnatullah siapasaja yang mematuhinya ia akan mendapatkan manfaat secara duniawi. Tidak ada bedanya antara orang yang beriman maupun yang tidak. Sebab sunnatullah lebih berupa hokum kausalitas (sebab akibat). Ia bersifat matematis, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan dapat manfaatanya. Siapa yang makan maka akan kenyang, sekalipun ia tidak beriman, dan yang tidak makan akan lapar, sekalipun ia beriman.
Dalam hal ini pernah dicontohkan dengan dua tempat. Satunya masjid dan satunya tempat maksiat. Secara sunnatullah tempat maksiat lebih patuh, yaitu di atas bangunan tersebut dipasang penangkal petir. Sementara masjid mengabaikan sunnatullah, dengan anggapan bahwa itu tempat ibadah. Maka tidak perlu diberi penangkal petir. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa tiba-tiba petir menyambar, masjid itu hancur dan tempat maksiat itu tidak.
Di sini menarik untuk dicatat bahwa hidup di dunia tidak cukup hanya dengan patuh kepada syariatullah, tetapi juga harus patuh kepada sunnatullah. Islam bukan hanya ikut syariatullah tetapi juga ikut sunnatullah. Rasulullah saw. Tidak hanya mengajarkan shalat dan puasa tetapi juga mengajarkan kejujuran dan keadilan, kerapian, kerjakeras, kedisiplinan, kesungguhan menegakkan hukum (sisi yang kedua ini termasuk sunnatullah).
Dalam kenyataan sehari-hari di tengah umat Islam masih banyak yang tidak mengambil Islam secara lengkap. Islam hanya diambil sisi syariahnya (baca: ritualnya) saja. Sementara sunnatullah di lapangan social di abaikan. Kebiasaan korupsi, menipu, sogok menyogok, tidak jujur dianggap pemandangan yang biasa. Sementara  negara-negaramaju, sangat takut dari kebiasaan seperti ini. Setiap tindakan menipu, sogok-menyogok, korupsi dan lain sebagainya, sekecil apapun mereka lakukan, maka akan ditindak secara hukum dengan tegas. Karenanya mereka maju secara keduniaan.
Sementara disisi lain  kita menyaksikan orang-orang Islam tidak berdaya. Mereka mati dipojok masjid, dan tidak bisa memberikan kontribusi bagi kemanusiaan secara luas. Padahal dalam sejarah Islam, telah terbukti bahwa umat ini pernah memimpin seperempat dunia, dengan kegemilangan sejarah tak terhingga bagi kemanusiaan. Puncaknya di zaman Umar Bin Khatthab lalu di zaman Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman itu tidak ada seorangpun yang didzalimi. Umar bin Khaththab pernah mengumumkan bahwa anak bayi dari sejak lahir sampai umur lima tahun, ditanggung oleh negara. Dan ternyata aturan ini kini dipraktikkan di Amerika.
Dalam Islam, semua variable dan contoh-contoh tersebut adalah sunnatullah dan syariatullah sekaligus.  Bahwa Islam bukan hanya sibuk mengurus perbedaan pendapat dalam masalah fikih seperti qunut, jumlah rakaat tarawih dan lain sebagainya, melainkan menyelamatkan kemanusiaan adalah juga Islam. Bahwa Islam bukan hanya shalat, dzikir di masjid-masjid, melainkan berkata jujur, menjauhi sogok menyogok, disiplin, bekerja keras, transparansi, tidak koupsi dan lain sebagianya adalah juga Islam.

2.    Tasyri’ Islami
Dari pembahasan diatas, maka kami berpendapat bahwa tasyri’ mengandung arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
Dan yang merupakan sumber hukum Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri. Yang menjadi sumber dalam penetapan hukum oleh umat pada saat itu, baik dari ayat-ayat Al Qur’an yang di turunkan Allah SWT maupun dengan pertanyaan yang di ajukan oleh umat kepada Nabi kemudian di jawab oleh Nabi dengan berdasar sumber utama.
Namun setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang. Perkembangan ini terjadi karena keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca wafatnya Nabi, para sahabat mendapatkan kesulitan dalam hal penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi untuk mereka menanyakan tentang hal permasalahan tersebut, oleh karena inilah maka sumber hukum Islam yang awalnya hanya Al Qur’an dan Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.














BAB. III   PENUTUP


A.    Kesimpulan
1.    Sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-keteapan atau hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta.
2.    Sunnatullah mempunyai 3 sifat, yaitu pasti, tetap (tidak berubah) dan objektif.
3.    Kata tasyri’ mengandung arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
4.    Sumber hukum Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri.
5.    Namun pada perkembangannya setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang. Perkembangan ini terjadi karena keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca wafatnya Nabi, para sahabat mendapatkan kesulitan dalam hal penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi untuk mereka menanyakan tentang hal permasalahan tersebut, oleh karena inilah maka sumber hukum Islam yang awalnya hanya Al Qur’an dan Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Karim Zaidan, Sunnatullah dalam Berbagai Aspek Kehidupan,Jakarta, Pustaka Azzam, 2004
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya,  Pustaka Progressif,  2002
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,Amzah, Jakarta, 2009
Muhammad 'Imaduddin 'Abdurrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, Gema Insani Press, 2002
Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al Quran, Bandung, Mizan, 1996
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fiqih Tasawuf, terj. Muhammad Abdul Ghoffar E. M., Bandung, Pustaka Hidayah, 2002
Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, dar Al_Ittihad Al-Arabi Littiba’ah, Kairo, 1975



1Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya,  Pustaka Progressif,  2002, hal. 669
[2]Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al Quran, Bandung, Mizan, 1996, hal. 135

[3] Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fiqih Tasawuf, terj. Muhammad Abdul Ghoffar E. M., Bandung, Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 240
[4] Rahmat Taufiq Hidayat, Op. Cit., hlm. 135
[5] Abdul Karim Zaidan, Sunnatullah dalam Berbagai Aspek Kehidupan,Jakarta, Pustaka Azzam, 2004,  hlm. 25
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Sunnatullah
[7] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., hlm. 19
[8] Ibid., hlm. 24.
[9] Muhammad 'Imaduddin 'Abdurrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, Gema Insani Press, 2002, hal. 17-18
[10] Ibid…, hal.18
[11] Ibid. hal. 18
[12] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,Amzah, Jakarta, 2009, hal. 1
[13]Ibid., hlm. 1
[14]Ibid
[15] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 4
[16]Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, dar Al_Ittihad Al-Arabi Littiba’ah, Kairo, 1975, hlm.16
[17] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hal. 35
[18]QS. Al-Baqarah ayat 221
[19]QS An-Nisa ayat 11-12
[20]Q.S Al Baqarah ayat 217
[21] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 56
[22] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 59
[23] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 60
[24] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 62
[25] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar