Selasa, 01 September 2015

Bagaimana Shaf Wanita dalam Shalat?

Ketika wanita berjama'ah bersama lelaki, posisi shaf wanita yang paling belakang lebih afdhal dibandingkan posisi shaf di depannya

holy_grand_mosque_in_makkah_by_thameralhassan-d5ax68c

Shalat merupakan rukun islam kedua setelah 2 kalimat syahadat. Hal ini menunjukkan akan pentingnya mendirikan shalat bagi umat Islam. Semua perlu diperhatikan, termasuk bagaimana mengatur shaf yang benar. Kali ini kita akan membahas bagaimana cara mengatur shaf bagi wanita ketika shalat berjama’ah, baik ketika berjama’ah dengan sesama wanita ataupun bersama laki-laki.

Bagi wanita, disunnahkan untuk melakukan shalat jama’ah di antara mereka sendiri secara terpisah dengan kaum laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahan kepada Ummu Waraqah untuk menunjuk bagi dirinya seorang muadzin dan memerintahkannya untuk mengimami anggota keluarganya. Hal ini dilakukan juga oleh para shahabiah yang lain seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah.

Meskipun begitu, wanita diperbolehkan untuk menghadiri shalat jama’ah di masjid bersama kaum laki-laki, selama memperhatikan adab-adabnya.

Ketika wanita berjama’ah bersama lelaki, posisi shaf wanita yang paling belakang lebih afdhal dibandingkan posisi shaf di depannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الِرجَالِ أَوِّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (HR. Muslim no.440).

Oleh karena itu, dalam menyusun shaf wanita ketika berjama’ah bersama laki-laki dimulai dari belakang, bukan dari depan.

Ketentuan untuk meluruskan shaf, merapatkan shaf, mengisi celah yang kosong, juga berlaku. Karena aturan ini bersifat umum, berlaku baik bagi lelaki maupun wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. al-Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433).

Yang dimaksud dengan meluruskan shaf adalah dengan meratakan barisan orang-orang yang berdiri di dalam shaf tersebut dan menutup adanya celah di dalam barisan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menempelkan pundak dengan pundak dan mata kaki dengan mata kaki, sebagaimana amalan para sahabat Rasulullah. Namun sungguh disayangkan, saat ini masih banyak wanita yang tidak tahu akan hal ini sehingga menyebabkan kurang sempurnanya shalat jama’ah.

Shaf laki-laki dan wanita dalam shalat berjama’ah terdapat beberapa perbedaan, sebagaimana yang dikemukakan Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (3/455) berikut ini:
  1. Jika seorang wanita menjadi imam sesama wanita, maka imam wanita berdiri di tengah-tengah shaf pertama.
  2. Apabila seorang wanita menjadi makmum laki-laki, maka perempuan berdiri di belakang imam, bukan berdiri di samping imam.
  3. Apabila kaum wanita shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki, maka shaf kaum wanita yang lebih utama adalah di shaf paling belakang untuk menjauhi terjadinya campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Demikian beberapa hal yang berkaitan dengan shaf wanita ketika shalat berjama’ah. Diharapkan hal ini menjadi perhatian kita semua dan dapat memotivasi untuk senantiasa terus memperbaiki dan menyempurnakan shalat kita. Karena shalat merupakan amalan yang akan pertama kali dihisab di hari akhir kelak, sehingga harus dikerjakan secara benar dan sungguh-sungguh.



***


Penyusun: Annisa Nurlatifa F
Pemuraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Referensi:
  • Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan. al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy. 3/157.
  • Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan. Ringkasan Fikih Lengkap Jilid 1 dan 2 (Terjemah Kitab Al Mulakhos Al Fiqh). Jakarta: Darul Falah.
  • Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan. Rambu-Rambu Syari’at Praktis Fiqih Wanita (Terjemah Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat. Solo: As-Salam.
Artikel www.muslimah.or.id

Sabtu, 07 Maret 2015

Daripada Diet Lebih Baik Sekalian Puasa, Bolehkah?

diet 
 
Syeikh Abdul Karim Al-Khudhoir -hafizhohulloh- mengatakan:
“Tidak diragukan lagi manfaat puasa dari sisi kesehatan, (bahkan) banyak orang sakit yg diberi resep untuk berdiet dg meninggalkan makan dan minum.

Bagi yang diberi resep untuk meninggalkan makan minum, dan dia diharuskan untuk berdiet, lalu dia mengatakan: “Daripada aku diet, lebih baik aku puasa“. Padahal yang mendorong dia untuk puasa itu diet, apakah dia akan mendapatkan pahala atau tidak?

Kita katakan, ini adalah penggabungan (niat) dalam ibadah, tapi ini merupakan penggabungan yang dibolehkan. Memang tidak diragukan lagi bahwa orang yang dorongan puasanya (hanya) ingin mendapatkan pahala dari Allah -subhanahu wata’ala- itu lebih sempurna dan lebih afdhol.

Masalah penggabungan (niat) dalam ibadah ini, memang membutuhkan lebih banyak perincian, penjabaran, permisalan, dan perbandingan. Penggabungan suatu ibadah dengan ibadah lain ada hukumnya sendiri, penggabungan suatu ibadah dengan sesuatu yg mubah ada hukumnya sendiri, dan penggabungan suatu ibadah dengan sesuatu yang haram ada hukumnya sendiri.

Jadi, orang yg disuruh untuk banyak jalan, lalu dia mengatakan: “daripada saya mengelilingi pasar, lebih baik saya thowaf, sehingga disamping saya mendapatkan tujuanku, aku juga dapat pahala thowaf“.
Kita katakan, orang ini dapat pahala dari thowaf-nya, karena dia tidaklah beralih dari pilihan awal ke pilihan kedua kecuali karena menginginkan pahala.

Begitu pula orang yang tadi, dia tidaklah meninggalkan pilihan (untuk sekedar) diet dengan tidak makan minum tanpa puasa, lalu memilih puasa, kecuali karena menginginkan Wajah Allah subhanahu wata’ala. Namun memang pahalanya akan berkurang.

Seorang imam, bila dia memanjangkan rukuknya karena (menunggu) orang yang masuk masjid (agar mendapatkan rukuknya), ini merupakan penggabungan (niat) dalam ibadah. Karena imam itu asalnya berniat untuk membaca tasbih 7 kali, lalu ketika mendengar pintu masjid terbuka, dia berkata dalam hatinya: “Mungkin orang ini bisa mendapatkan rakaat ini“, maka dia pun bertasbih 10 kali karena orang yang masuk tersebut, menurut mayoritas ulama hal ini tidak mengapa, dan itu termasuk dalam bab berbuat baik kepada saudaranya.

Jika menyingkat sholat karena tangisan anak dan karena (melihat perasaan) ibunya; dibolehkan. Maka memanjangkan sholat -tanpa ada riya’- karena ingin berbuat baik kepada orang yang masuk tersebut lebih pantas untuk dibolehkan”.

(dari kitab Syarah Zadul Mustaqni’ 1/17-18).


Penulis: Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslimah.Or.Id

Rabu, 14 Januari 2015

Ta'aruf Tapi Mesra

Bismillahirrahmanirrahim..

” Assalamualaikum ukhti, jangan lupa makan ya? ana nggak mau kalau nanti jadi istri ana, ukhti kena sakit maag atau kurusan.”

SMS dikirim..

SMS diterima..

“Wa’alaikumsalam akhi, iya akhi. Insyaallah ana nggak telat makan. Makasih banget ya, masih ta’aruf aja udah diperhatikan seperti ini apalagi nanti kalau jadi istri akhi, pasti jadi wanita paling bahagia.”

====================================

WoW.. PEDE aja gitu, SMS an dengan kata mesra yang bergejolak-jolak bawa kata-kata islami untuk menghalalkan ragam kemesraan.

Tak mudah memang menutupi rasa yang seharusnya tak terungkapkan begitu saja, tak diumbar begitu mudah. Seperti cinta yang tak pernah ada harganya, layaknya para pemuja cinta yang sudah kehilangan kendali bahkan telah hilang dalam mengenali bagaimana rasanya cinta.

Para pejuang cinta yang tidak mengenal cinta karena terlalu sering mengumbar cinta, bahkan agar terkesan islami untuk menutupi keinginan “pacaran” banyak yang menggunakan kata ta’aruf, namun sayangnya didalamnya tak jauh berbeda dengan kemaksiatan yang sudah terencana.

Bukankah para pemulung yang biasa bekerja di tempat sampah sudah begitu terbiasa dengan bau sampah, begitupula maksiat, orang yang biasa berkecimpung dengan baunya maksiat, sudah tidak sadar lagi bahkan tidak terganggu justru ditutupi dengan gaya islami.

Seakan-akan ta’aruf adalah penghalalan sebuah hubungan lawan jenis, bisa mesra-mesraan, bisa sayang-sayang. Aduh Sobat, apa kata akhirat kalau seperti ini terus?

Potret remaja masa kini, dilarang pacaran larinya ke ta’aruf, tapi setelah ta’aruf sama saja ketika berpacaran. Lantas apanya yang mau di syar’i kan kalau kelakuannya sama saja, tidak mengenal batasan dalam berbicara meski dengan dalih ta’aruf.

Apakah telah hilang rasa malu di dunia ini sehingga banyak manusia yang sudah tidak berpikir dengan akal sehat? karena merasa bahwa yang mereka perbuat adalah hal yang benar asal membawa nama agama, nah lho padahal dengan membawa nama agama tapi didalamnya jauh dari apa yang di ajarkan, berarti sudah hilang akal sehatnya, iya apa iya?

Sahabat BMB, bukan maksud ingin menggurui, bukan maksud ingin mencampuri kesenangan kalian, tapi bukankah saya sebagai seorang saudara wajib untuk saling mengingatkan dalam kebenaran?

Ta’aruf bukanlah pacaran yang dengannya kita jadi boleh bermesraan, bahkan setelah khitbahpun yang sudah mendekati fase pernikahan pun masih tidak dibolehkan untuk bermesra-mesraan lewat media manapun, apalagi baru sebatas ta’aruf. Bukankah islam sudah mengatur ta’aruf syari yang bila dilakukan harus ada wali yang mendampingi.

Mari perbaiki diri kita, agar kita dijauhkan dari sifat-sifat jahil. Bukankah wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik pula? Tetaplah berjalan dalam koridor syariat agar Allah selalu meridhoi langkah kita.

(A.I)

wallahua'lam bish shawwab