Sabtu, 13 Desember 2014

Apakah Wanita Boleh Menjenguk Laki-Laki Yang Sakit?


akhlak 
 
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah: boleh saja, asalkan aman dari fitnah, tertutup auratnya dan tidak khalwat (bedua-

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab khusus mengenai hal ini dalam kitab shahihnya,
 باب عيادة النساء للرجال” قال: وعادت أم الدرداء رجلاً من أهل المسجد من الأنصار

“Bab: wanita menjenguk laki-laki dan Ummu Ad-Darda’ menjenguk beberapa laki-laki ahli masjid dari kaum Anshar.” 

Sebagaimana hadits ‘Aisyah menjenguk Bilal dan menanyakan keadaannya,

عن عائشة رضي الله عنها قالت : لما قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة وعك أبو بكر وبلال رضي الله عنهما قالت : فدخلت عليهما ، فقلت : يا أبت كيف تجدك ؟ ويا بلال كيف تجدك

Aisyah radhiyallahu’anha meriwayatkan, Ketika Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal terserang demam. Kemudian, kata Aisyah, aku menemui mereka dan bertanya, ‘Ayah, bagaimana keadaanmu?’ ‘Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?

Demikian juga laki-laki boleh menjenguk wanita dan menanyakan keadaannya. Sebagaimana Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam menjenguk sahabat wanita,

وروى مسلم عن جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل على أم السائب – أو أم المسيب – فقال: “مَالَكِ يا أُمَّ السَّائبِ¬ أَوْ يَا أُمِّ المُسيَّبِ¬ تُزَفْزِفينَ ؟” قَالَتْ: الحُمَّى لا بارَكَ اللَّه فِيهَا، فَقَالَ: “لا تَسُبِّي الحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايا بَني آدم، كَما يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبثَ الحدِيدِ”

Diriwayatkan dari Jabir Bin Abdullah Bahwa Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam menjenguk Ummu Saib –atau Ummu Musayyab- beliau bersabda, “Bagaimana keadaannmu wahai Ummu Saib –atau wahai Ummu Musayyab apa yang engkau keluhkan?”. Ia berkata, “demam, semoga Allah tidak memberkahinya (demam). Beliau bersabda, “janganlan engkau mencela demam karena ia menghapus kesalahan anak adam sebagaimana kikir menghilangkan karat besi.

Demikian juga Ibnu Abbas yang menjenguk ‘Aisyah ketika sakit yang mengantarkannya kepada kematian.

وعن ابن عباس (رضي الله عنهما) أنه استأذن على عائشة (رضي الله عنها) في مرض موتها، فأذنت له، فقال:كيف تجدينك ؟ قالت: بخير إن اتقيت، قال: فأنت بخير إن شاء الله تعالى، زوجة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم ينكح بكرًا غيرك

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasanya ia meminta izin kepada Aisyah radhiallahu anha untuk menjenguk ketika sakit yang mengantarkan kematiannya, maka Aisyah mengizinkannya. Ia berkata, “bagaimana keadaanmu?”. Aisyah berkata, “Dalam kondisi baik, jika saya bertakwa”. Ia berkata, “ engkau dalam kebaikan insyaAllah, engkau Istri rasulullah shallalallahu alaihi wasallam, ia tidak menikahi perawan kecuali engkau.” 

Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan hal ini dengan syarat terhindar dari fitnah yang datang dari lawan jenis. Jika berpotensi menimbulkan fitnah, yaitu keburukan semisal munculnya penyakit hati atau godaan syahwat maka sebaiknya dihindari mengingat banyaknya dalil yang mewanti-wanti mengenai bahaya fitnah dari lawan jenis. Apalagi sarana komunikasi sekarang lebih mudah, sehingga bisa menanyakan keadaan lewat media dan sarana yang lebih aman dari fitnah.

Demikian semoga bermanfaat


Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslimah.or.id

Memberi Senyuman Kepada Laki-laki Yang Bukan Mahram


Memberi Senyuman Kepada Laki-laki Yang Bukan Mahram
Pertanyaan:
Apa hukumnya bila seorang wanita memberi senyuman kepada sekumpulan laki-laki agar mereka merasa bahwa mereka adalah saudara kita dan kita adalah saudara mereka. Apa hukum senyuman wanita kepada laki-laki dan sebaliknya senyuman laki-laki kepada wanita secara umum?

Jawab:
Alhamdulillah,
Pertama,
Kewajiban seorang wanita adalah menutupi wajahnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini berdasarkan banyak dalil yang telah disebutkan pada soal jawab no. 11774. Dengan demikian seorang wanita jelas tidak diperbolehkan menebar senyuman kepada laki-laki yang bukan mahram.
Kedua,
Banyak sekali dalil syar’i yang melarang segala sesuatu yang bisa mendatangkan fitnah perempaun bagi laki-laki ataupun sebaliknya.
Diantara larangan tersebut adalah jabat tangan lawan jenis yang bukan mahram, berdua-duan, mendayu-dayukan suara, wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi hingga tercium baunya, larangan lainnya adalah laki-laki melihat perempaun dan perempuan melihat laki-laki disertai dengan syahwat. Silakan lihat jawab soal no 84089 tentang dalil-dalilnya.
Adapun senyuman wanita kepada laki-laki yang bukan mahram dengan tujuan sebagaimana yang Anda sebutkan seperti melembutkan hati atau semata-mata berbuat baik maka tindakan ini berkonsekwensi adanya pandangan satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu hukumnya terlarang. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا 
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (dari memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Amat Mendalam PengetahuanNya tentang apa yang mereka kerjakan. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (Qs. Nur 31)

Senyuman semacam ini terkadang membekas di hati. Minimal, seperti halnya pengaruh suara yang dilembutkan hingga terjadilah fitnah yang Allah peringatkan dalam firmanNya,

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Qs Ah Ahzab 32)

Lembaga Fatwa Saudi (Lajnah Daimah Lil Ifta’) pernah ditanya,
Apa hukumnya bila seorang wanita memberi senyuman kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa memperlihatkan giginya dan tanpa suara?

Jawab,
Diharamkan bagi seorang wanita menyingkap wajahnya dan memberi senyuman kepada laki-laki yang bukan mahram. Demikian ini dikarenakan bahaya yang ditimbulkannya.
Wabillahittaufiq, washallallahu’ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.
Allajnah addaimah lilbuhuts al’ilmiyyah wal ifta’

Abdul’Aziz bin Abdillah bin Baz…Abdurrazzaq ‘Afifi…Abdullah bin Ghudyan. Demikian nukilan dari Fatawa Allajnah Ad Daimah (17/25)

Adapun (adab) seseorang kepada masyarakat muslim hendaknya ia memuliakan mereka,menghargai dan menghormati mereka tanpa terjatuh pada perkara yang dilarang. Laki-laki tentunya hanya berkumpul dengan laki-laki, sementara Wanita saling tolong menolong sesama wanita. Maka akan Anda dapati banyak sekali muslimah yang membutuhkan perhatian dan kebaikan Anda.

Semoga Allah menambahkan taufiq dan kebenaran pada kami dan Anda.

Wallahua’lam

***

artikel muslimah.or.id
Sumber : http://islamqa.info/ar/ref/102415
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Muslimah.Or.Id

Jumat, 28 November 2014

Sejarah Cincin Pertunangan

Sejarah Cincin Pertunangan
Cincin pertunangan berasal dari tradisi orang-orang Nasrani. Ketika pengantin pria memasang cincin di ibu jari pengantin putri, dia mengatakan, “Dengan nama Bapa,” lalu cincin tadi dipindahkannya ke jari telunjuk seraya berkata, “Dengan nama Tuhan Anak,” kemudian dipindahkannya ke jari tengah seraya mengatakan, “Dengan nama Roh Kudus,” dan terakhir kalinya dia pindahkan cincin tersebut ke jari manis seraya mengucapkan, “Aamiin.”
Pernah ada pertanyaan yang dilontarkan kepada majalah berbahasa Inggris “The Woman” yang terbit di London pada edisi 19 Maret 1960 hlm. 8 sebagai berikut, “Mengapa cincin pertunangan diletakkan di jari manis tangan kiri?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Angela Talbot, penanggung jawab rubrik tersebut, “Hal ini karena konon di jari tersebut terdapat urat saraf yang berhubungan dengan hati. Selain itu ada juga sumber ajaran kuno yang menyebutkan bahwa tatkala pengantin putra memasang cincin di ibu jari pengantin putri, dia mengatakan, “Dengan nama Bapa,” lalu cincin tadi dipindahkannya ke jari telunjuk seraya berkata, “Dengan nama Tuhan Anak,” kemudian dipindahkannya ke jari tengah seraya mengatakan, “Dengan nama Roh Kudus,” dan terakhir kalinya dia pindahkan cincin tersebut ke jari manis seraya mengucapkan, “Aamiin.”
Tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh seorang penulis wanita bernama Malak Hanano. Semoga Allah membalas kebaikannya.


Sumber: Adab Az Zifaf – Panduan Pernikahan Cara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hlm. 191. Cetakan Pertama. Muharram 1425/Maret 2004. Penerbit Media Hidayah, Yogyakarta.

Artikel Muslimah.Or.Id

Perempuan Bekerja Boleh Saja, Asal…

Di zaman sekarang ini, semakin banyak wanita keluar dari rumahnya untuk bekerja. Sebagian besar dari mereka bekerja dengan dalih menambah penghasilan karena uang bulanan yang diberikan oleh suaminya tidak mencukupi. Persoalan wanita bekerja di luar rumah atau yang populer disebut wanita karir memang masih ramai dibicarakan. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Bagaimana Islam memandang hal ini?

Islam yang Universal

Islam mengatur semua hal, bahkan hal kecil sekalipun, apalagi soal harkat dan martabat wanita. Dalam Islam, wanita sangat dimuliakan. Sebelum datangnya Islam, wanita diperlakukan semena-mena. Pada masa jahiliyah, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena diapandang bahwa wanita hanya akan menyusahkan.
(وَإِذَا ٱلۡمَوۡءُۥدَةُ سُٮِٕلَتۡ (٨)بِأَىِّ ذَنۢبٍ۬ قُتِلَتۡ (٩
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” [Q.s At-Takwir: 8-9]
Dalam masyarakat Yunani, wanita dipandang sebagai barang yang dapat diperjual- belikan. Dalam masyarakat Hindu, bahkan wanita disamakan dengan makhluk jelata yang setingkat dengan kasta hewan. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Islam Memuliakan Wanita

Kemudian Islam datang untuk menempatkan kedudukan wanita pada posisi yang layak, memberikan hak-haknya dengan sempurna tanpa dikurangi sedikitpun. Islam memuliakan kedudukan kaum wanita, baik sebagai ibu, sebagai anak atau saudara perempuan, juga sebagai istri. Pada poin yang terakhir ini, yaitu sebagai istri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi makanan, pakaian, dan sebagainya. Seorang istri berhak mendapatkan apa-apa yang ia butuhkan dengan cara meminta kepada suaminya dengan cara yang ma’ruf.
Dari ‘Aisyah  radhiyallahu ‘anha, dia menuturkan bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa-apa yang aku ambil darinya dengan sembunyi-sembunyi“ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ambillah  harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (baik)” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5324), Kitab “an-Nafaqaat”, Bab “Idzaa lam Yunfiqir Rajulu”; Muslim dalam Shahih-nya (no. 1714), Kitab “al-Aqdhiyah”, Bab “Qadhiyah Hind”, dari ‘Aisyah)

Sanggahan Bagi Kaum Feminis

Sayangnya, hak wanita di zaman sekarang ini seringkali “dipaksakan” oleh sebagian kalangan. Beberapa di antaranya yang menamakan diri mereka sebagai feminis (yang katanya memperjuangkan hak wanita), mereka berpendapat bahwa wanita harus sejajar dengan laki-laki, wanita tidak boleh dikekang, dan sebagainya. Padahal hal-hal tersebut malah membuat wanita kehilangan kemuliaannya.
Wanita berbeda dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu, sehingga tidak akan bisa seorang wanita bertindak seperti laki-laki, bebas keluar rumah dan eksis di ranah publik. Sebagai contoh perbedaan laki-laki dan wanita (yang akan berpengaruh dalam pekerjaan yang boleh untuk wanita dan yang tidak) adalah perbedaan fisik. Ini yang pertama. Laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat sehingga mampu menerima tantangan yang keras untuk bekerja di luar rumah, sedangkan wanita dengan kelemah lembutannya diciptakan untuk tetap berada di rumah, mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Kedua, perbedaan hormon. Ketiga, perbedaan kondisi fisik dan psikis, di antaranya keadaan wanita yang mudah tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haidh. Keempat, perbedaan susunan otak pria dan wanita. Otak laki-laki jauh lebih unggul daripada otak wanita, sehingga lebih cocok bila laki-laki lebih banyak berada di ranah publik.
Namun, Islam agama yang sempurna tidaklah mengungkung para wanita dan sama sekali tidak membolehkannya keluar rumah. Adakalanya wanita dibutuhkan kehadirannya di luar. Atau mungkin mereka membutuhkan sesuatu yang harus didapat dengan cara keluar dari rumahnya.

Bagaimana Aturan Islam Bila Wanita Harus Keluar Rumah?

Jika wanita mesti keluar rumah untuk bekerja, maka hal-hal berikut yang mesti diperhatikan:
  • Mendapatkan izin dari walinya
    Wali adalah kerabat seorang wanita yang mencakup sisi nasabiyah (garis keturunan, seperti dalam An Nuur:31), sisi sababiyah (tali pernikahan, yaitu suami), sisi ulul arham (kerabat jauh, yaitu saudara laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu serta keturunan laki-laki dari keduanya), dan sisi pemimpin (yaitu hakim dalam pernikahan atau yang mempunyai wewenang seperti hakim). Jika wanita tersebut sudah menikah, maka harus mendapat izin dari suaminya.
  • Berpakaian secara syar’i
    Syarat pakaian syar’i yaitu menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan (wajah dan telapak tangan, -ed), tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak memakai wewangian.
  • Aman dari fitnah
    Yang dimaksud aman dari fitnah adalah wanita tersebut sejak menginjakkan kaki keluar rumah sampai kembali lagi ke rumah, mereka terjaga agamanya, kehormatannya, serta kesucian dirinya.Untuk menjaga hal-hal tersebut, Islam memerintahkan wanita yang keluar rumah untuk menghindari khalwat (berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita tanpa dipisahkan oleh tabir), menjaga sikap dan tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan, serta berjalan dengan sewajarnya, tidak berlenggak-lenggok).
  • Adanya mahram ketika melakukan safar
    Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” [HR. Bukhari dalan Shahihnya (no. 1862), Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “Hajjun Nisaa’”; Muslim (no. 1341), Kitab “al-Hajj”, Bab “Safarul Mar-ah ma’a Mahramin ilal hajji wa Ghairihi”, dari Ibnu ‘Abbas]

Pekerjaan yang Cocok bagi Muslimah

Ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka wanita pun boleh keluar rumah bahkan untuk bekerja. Namun hendaknya dipahami lagi, jenis-jenis pekerjaan seperti apa yang boleh dilakukan oleh wanita, sesuai dengan aturan Islam.
Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi, diantaranya adalah:
  • Dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium.
    Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa. Untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan juga ketika dokter spesialis laki-laki tidak ditemui di negeri tersebut.Salah satu dalil yang membolehkannya adalah, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]Imam Nawawi menjelaskan hadits di atas, tentang kebolehan wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.
  • Di bidang ketentaraan dan kepolisian, hanya dibatasi pada pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum wanita, seperti memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita misalnya di daerah perbatasan dan bandara.
  • Di bidang pengajaran (ta’lim), dibolehkan bagi wanita mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk mengajar kaum pria, boleh apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab, seperti menggunakan hijab dan menjaga suara.
  • Menenun dan menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan fitrah wanita.
  • Di bidang pertanian, dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
  • Di bidang perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang . Hadits ini tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam aktivitas perniagaan.
  • Menyembelih dan memotong daging. Meskipun ada pendapat yang membolehkan pekerjaan ini bagi wanita, namun hakikatnya tidak sesuai dengan tabiat wanita karena membuat anggota tubuhnya tersingkap saat bekerja, seperti lengan, dan kaki.
  • Tata rias kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, juga dilarang pula melihat aurat wanita yang diharamkan. Dilarang menggunakan benda-benda yang membahayakan tubuh, serta haram menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami si perias sendiri.

Sebaik-Baik Tempat Wanita Adalah Rumah

Dari ulasan di atas, tetaplah sebaik-baik tempat wanita adalah di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaklah wanita berdiam di rumahnya dan tidak keluar kecuali jika ada kebutuhan.
Sehingga jika ada pekerjaan bagi wanita yang bisa dikerjakan di rumah, itu tentu lebih layak dan lebih baik. Dan perlu ditekankan kewajiban mencari nafkah bukanlah jadi tuntutan bagi wanita. Namun prialah yang diharuskan demikian. Inilah yang Allah perintahkan,
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7). [ed]

***

Artikel Muslimah.Or.Id

Penulis: Nur Fitri Fatimah

Murajaah: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal (Rumaysho.Com)

Referensi Utama:
Wanita Karir, Profesi Wanita di Ruang Publik yang Boleh dan yang Dilarang dalam Fiqih Islam”, karangan Adnan bin Dhaifullah Alu asy-Syawabikah, penerbit: Pustaka Imam Asy’Syafi’i

Apa Maksud Hadits, “Wanita Kurang Akal dan Agamanya”?

Apa Maksud Hadits, “Wanita Kurang Akal dan Agamanya”?
Pertanyaan: Kita selalu mendengar hadits yang berbunyi, “Wanita itu kurang akalnya dan kurang agamanya.” Hadits ini diutarakan kaum lelaki kepada wanita untuk merendahkannya. Kami mohon penjelasan arti hadits tersebut..

Jawaban:
Arti hadits:

“Aku tidak melihat wanita yang kurang akalnya dan agamanya yang dapat menghilangkan kemauan keras lelaki yang tegas daripada seorang diantara kamu” 

Para wanita shahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan kekurangan agama kami dan akal kami, ya Rasulullah?”

Jawab beliau, “Bukankah kesaksian seorang wanita itu setengah kesaksian seorang laki laki’? 

Mereka menjawab, “Ya”.

Beliau bersabda, “Itulah kekurangan akalnya. Dan bukankah apabila haid , wanita tidak melakukan shalat dan juga tidak berpuasa?” 

Mereka menjawab: “Ya.”

Rasululllah bersabda, “Itulah yang dimaksud kekurangan agamanya.”

Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam menjelaskan bahwa kekurangan akal wanita itu dilihat dari sudut ingatan yang lemah, maka dari itu kesaksiannya harus dikuatkan oleh kesaksian seorang wanita yang lain untuk menguatkannya, karena boleh jadi ia lupa, lalu memberikan kesaksian lebih dari yang sebenarnya atau kurang darinya, sebagaimana firman Allah,

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang orang lelaki diantaramu. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang wanita dari saksi saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingatkannya.” (Qs. Al-Baqarah: 282)

Adapun kekurangan agamanya adalah karena di dalam masa haid dan nifas ia meninggalkan shalat dan puasa dan tidak mengqadha (mengganti) shalat yang ditinggalkannya selama haid atau nifas. Inilah yang dimaksud kekurangan agamanya. Akan tetapi kekurangan ini tidak menjadikannya berdosa, karena kekurangan tersebut terjadi berdasarkan aturan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dia-lah yang memberikan ketetapan hukum seperti itu sebagai wujud belas kasih kepada mereka dan untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Sebab, jika wanita harus puasa di saat haid dan nifas, maka hal itu akan membahayakannya. Maka karena rahmat Allah atas mereka, Dia tetapkan agar mereka meninggalkan puasa di saat haidh dan nifas, kemudian mengqadhanya bila telah suci.

Sedangkan tentang shalat, di saat haid akan selalu ada hal yang menghalangi kesucian. Maka dengan rahmat dan belas kasih Allah subhanahu wa ta’ala Dia menetapkan bagi wanita yang sedang haidh agar tidak mengerjakan shalat dan demikian pula di saat nifas, Allah juga menetapkan bahwa ia tidak perlu pengqadhanya sebab akan menimbulkan kesulitan berat karena shalat berulang-ulang dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, sedangkan haidh kadang-kadang sampai beberapa hari — sampai tujuh–delapan hari bahkan kadang kadang lebih– sedangkan nifas, kadang kadang mencapai 40 hari.

Adalah rahmat dan karunia Allah kepada wanita, Dia menggugurkan kewajiban shalat dan qadhanya dari mereka. Hal itu tidak berarti bahwa wanita kurang akalnya dalam segala sesuatu atau kurang agamanya dalam segala hal! Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah menjelaskan bahwa kurang akal wanita itu dilihat dari sudut kelemahan ingatan dalam kesaksian; dan sesungguhnya kurang agamanya itu dilihat dari sudut meninggalkan shalat dan puasa di saat haid dan nifas. Dan inipun tidak berarti bahwa kaum lelaki lebih utama (lebih baik) daripada kaum wanita dalam segala hal. Memang, secara umum jenis laki laki itu lebih utama daripada jenis wanita karena banyak sebab, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Kaum laki laki itu adalah pemimpin pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki laki) atas sebagian yang lain (waniat) dan karena mereka (laki laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
(Qs.An Nisa’: 34)

Akan tetapi adakalanya perempuan lebih unggul daripada laki laki dalam banyak hal. Betapa banyak perempuan yang lebih unggul akal (kecerdasannya), agama dan kekuatan ingatannya daripada kebanyakan laki laki. Sesungguhnya yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam d iatas adalah bahwasanya secara umum kaum perempuan itu di bawah kaum lelaki dalam hal kecerdasan akan dan agamanya dari dua sudut pandang yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam tersebut.

Kadang ada perempuan yang amal shalihnya amat banyak sekali mengalahkan kebanyakan kaum laki laki dalam beramal shalih dan bertaqwa kepada Allahu Subhanahu wa Ta’ala serta kedudukannya di akhirat dan kadang dalam masalah tertentu perempuan itu mempunyai perhatian yang lebih sehingga ia dapat menghafal dan mengingat dengan baik melebihi kaum laki laki dalam banyak masalah yang berkaitan dengan dia (perempuan). Ia bersungguh sungguh dalam menghafal dan memperbaiki hafalannya sehingga ia menjadi rujukan (referensi) dalam sejarah Islam dan dalam banyak masalah lainnya.

Hal seperti ini sudah sangat jelas sekali bagi orang yang memperhatikan kondisi dan perihal kaum perempuan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam dan zaman sesudahnya. Dari sini dapat diketahui bahwa kekurangan tersebut tidak menjadi penghalang bagi kita untuk menjadikan perempuan sebagai sandaran di dalam periwayatan, demikian pula dalam kesaksian apabila dilengkapi dengan satu saksi perempuan lainnya; juga tidak menghalangi ketaqwaannya kepada Allah dan untuk menjadi perempuan yang tergolong dalam hamba Allah yang terbaik jika ia istiqomah dalam beragama, sekalipun di waktu haid dan nifas pelaksanaan puasa menjadi gugur darinya (dengan harus mengqadha), dan shalat menjadi gugur tanpa harus mengqadha.

Semua itu tidak berarti kekurangan perempuan dalam segala hal dari sisi ketaqwaannya kepada Allah, dari sisi pengamalannya terhadap perintah perintahNya dan dari sisi kekuatan hafalannya dalam masalah masalah yang berkaitan dengan dia. Kekurangan hanya terletak pada akal dan agama seperti dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam. Maka tidak sepantasnya seorang lelaki beriman menganggap perempuan mempunyai kekurangan dalam segala sesuatu dan lemah agamanya dalam segala hal.

Kekurangan yang ada hanyalah kekurangan tertentu pada agamanya dan kekurangan khusus pada akalnya, yaitu yang berkaitan dengan validitas kesaksian. Maka hendaknya setiap muslim merlaku adil dan objektif serta menginterpretasikan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam, sebaik-baik interpretasi. Wallahu ‘alam…

Fatwa Syaikh Ibn Baaz: Majalah Al Buhuts, edisi 9 hal. 100.

Sumber: Fatwa-Fatwa terkini Jilid 1 Bab Pernikahan

***

Tipu Muslihat Setan kepada Ahli Ibadah Melalui Wanita

Tipu  Muslihat Setan kepada Ahli Ibadah Melalui Wanita
Sa’id bin Al-Musayyab radhiyallahu anhu pernah berkata, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi, melainkan dia tidak merasa aman dari gangguan Iblis, yang merusaknya melalui perantara seorang wanita.”
Dan dari hasan bin Shalih, dia berkata, “Aku pernah mendengar setan berkata kepada wanita, “Engkau adalah separuh pasukanku, engkau adalah anak panah yang kuluncurkan dan aku tidak pernah salah sasaran. Engkau adalah penyimpan rahasiaku dan engkau adalah utusanku jika aku membutuhkan.”

Kisah ini diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih radhiyallahu ‘anhu. Ada seorang ahli ibadah di kalangan bani israel. Dia adalah orang yang paling tekun beribadah pada zamannya. Pada saat itu ada tiga orang laki laki bersaudara yang memiliki satu saudari lagi, seorang gadis. Ketika mereka hendak pergi untuk ikut dalam perngiriman satuan pasukan, mereka tidak tahu siapa yang akan menjaga dan melindungi saudari mereka, dan kepada siapa dia akan dititipkan. Maka mereka sepakat untuk menitipkan saudari mereka kepada laki laki ahli ibadah di kalangan Bani Israel. Dengan penuh keyakinan mereka mendatangi ahli ibadah itu dan memintanya untuk sudi dititipi saudari mereka, yang berarti saudari mereka itu harus menetap di tempat ahli ibadah dan dalam lindungannya hingga mereka kembali dari peperangan. Namun ahli ibadah menolak permintaan mereka dan dia berlindung kepada Allah dari keberadaan saudari mereka. Mereka terus mendesak ahli ibadah itu hingga akhirnya dia berkenan. Ahli ibadah itu berkata, “Suruhlah dia menginap di sebuah bilik di lantai bawah biaraku.”

Maka mereka menempatkan saudarinya di bilik yang dimaksudkan kemudian mereka meninggalkannya. Dengan begitu, gadis tersebut berada di tempat ahli ibadah untuk sekian lama, yang selama itu pula ahli ibadah turun dari biaranya untuk memberikan makanan kepada sang gadis. Dia meletakkan makanan di dekat pintu biara, kemudian menutupnya kembali lalu naik ke lantai atas dalam biaranya. Setelah itu sang gadis keluar dari biliknya untuk mengambil makanan yang sudah diletakkan ahli ibadah.
Setan cukup sabar menghadapi ahli ibadah itu dan senantiasa membuatnya senang melakukan kebaikan, sambil membesar besarkan masalah jika gadis itu keluar pada siang hari dan menakut nakutinya andaikan ada orang lain yang melihat keberadaan gadis itu di biaranya. Maka setan menambahi tipu muslihatnya dengan berkata, “Andaikan engkau mau berjalan ketika membawa makanannya , lalu engkau meletakkannya didepan biliknya, tentu pahalamu semakin bertambah besar.”

Setan terus menerus membujuknya hingga dia mau berjalan mendekati bilik gadis dan meletakkan makanannya di depan pintunya, tanpa berbicara sedikitpun. Hal ini terjadi hingga beberapa lama.

Kemudian Iblis mendatangi ahli ibadah dan menganjurkannya kepada suatu kebaikan, seraya berkata, 

“Andaikata engkau mau berjalan membawa makanannya dan meletakannya di dalam biliknya, tentu pahalamu semakin besar.” 

Iblis senantiasa membujuk ahli ibadah hingga dia mau berjalan membawa makanannya dan meletakkannya di dalam bilik sang gadis. Hal ini terjadi hingga beberapa lama.

Iblis menyuruh ahli ibadah kepada kebaikan dan menganjurkannya, seraya berkata, “Andaikata engkau mau berbicara dan mengobrol dengannya, tentu engkau akan bisa menjaganya, karena dia bisa saja dimangsa binatang buas.” Iblis senantiasa membujuknya, hingga ahli ibadah itu mau berbincang bincang dengan sang gadis dari atas lantai di atas biaranya hingga beberapa lama.

Setelah itu Iblis mendatangi ahli ibadah dan berkata membujuknya, “Andaikata engkau mau turun ke biliknya, duduk di depan pintu biaramu dan mengajaknya berbincang bincang denganmu, tentu hal itu lebih dia sukai.” Iblis senantiasa membujuknya hingga ahli ibadah mau duduk di depan pintu biaranya dan keduanya berbincang bincang. Hal ini terjadi hingga beberapa lama.

Iblis mendatangi ahli ibadah dan mengajurkan sesuatu yang selayaknya ia lakukan. Iblis berkata, “Andaikata engkau keluar dari biaramu dan duduk di dekat pintu biliknya, lalu engkau berbincang bincang dengannya, tentu lebih menyenangkan hatinya. Iblis senantiasa membujuk ahli ibadah hingga akhirnya dia benar-benar melaksanakannya. Hal ini terjadi hingga beberapa lama.

Iblis mendatangi ahli ibadah lagi dan memberinya anjuran tentang pahala yang akan diperolehnya di sisi Allah jika dia mau mengerjakannya. Iblis berkata, “Andaikan saja engkau mau keluar dari biaramu dan duduk lebih dekat lagi ke pintu bilik si gadis itu serta berbincang bincang dengannya tanpa perlu keluar dari sana.” Ahli ibadah melakukan anjuran Iblis ini dan hal ini berjalan hingga beberapa lama.

Kemudian Iblis mendatangi ahli ibadah dan berkata, “Andaikata engkau mau masuk ke dalam bilik gadis itu, berbincang bincang dengannya dan tanpa diketahui seorang pun, maka hal ini tentu lebih baik bagimu.” Maka sehari penuh ahli ibadah menemani sang gadis di dalam biliknya. Ketika hari sudah senja, dia keluar dan naik ke lantai atas dari biaranya

Iblis mendatangi ahli ibadah dan terus menerus membujuknya, hingga dia berani memegang paha sang gadis dan memeluknya. Iblis terus memperdaya ahli ibadah dengan membisikkan bahwa hal itu merupakan kebaikan, hingga akhirnya dia menyetubuhinya dan gadis itu pun hamil. Ketika tiba saatnya, gadis itu melahirkan seorang bayi. Iblis mendatangi ahli ibadah seraya berkata, “Apa pendapatmu jika saudara saudaranya datang sementara saudari mereka telah melahirkan seorang bayi akibat perbuatanmu? Apa yang hendak engkau lakukan? Tentu saja aku tak berani menjamin dirimu, bahwa nama baiknya akan tercemar, atau mereka akan mencemarkan nama baikmu. Karena itu hampirilah bayi itu, bunuhlah dia, lalu kuburkan mayatnya. Gadis itu akan merahasiakannya karena takut andaikan saudara saudaranya tahu apa yang telah engkau perbuat terhadap dirinya.”

Maka ahli ibadah itu melakukan apa yang dianjurkan Iblis. Lalu Iblis berkata lagi, “Apakah menurut pendapatmu wanita itu akan menyembunyikan kepada saudara saudaranya apa yang telah engkau perbuat terhadap dirinya dan anaknya? Ambillah wanita itu, bunuhlah dia dan kubur bersama anaknya!”

Ahli ibadah benar benar mengikuti anjuran Iblis, membunuh dan mengubur gadis itu bersama anaknya. Dia juga membuat sebuah lubang dan meletakkan sebuah batu besar diatasnya setelah meratakan tanahnya. Setelah itu ia naik ke lantai atas biaranya untuk beribadah disana. Tidak berapa lama berselang seperti yang dikehendaki Allah, saudara saudara sang gadis datang dari peperangan, lalu mereka mendatangi biara dan menanyakan saudari mereka. Ahli ibadah menangis dan menunjukkan belas kasihannya terhadap saudari mereka seraya berkata, “Dia adalah seorang wanita yang paling baik. Itu adalah kuburannya. Lihatlah!”
Mereka mendatangi kuburan saudari mereka dan menangis disana sebagai luapan kasih sayang mereka. Beberapa hari mereka berada di kuburan itu lalu mereka pulang ke rumah.

Pada malam harinya dan setelah mereka tidur, setan mendatangi mereka lewat mimpi. Setan muncul dalam rupa seorang musafir. Pertama kali ia datang dalam mimpi salah seorang di antara mereka yang paling tua. Setan bertanya tentang nasib saudarinya. Orang itu menjawab seperti apa yang dikatakan ahli ibadah, bagaimana kematiannya dan bagaimana kasih sayang yang ditunjukkannya terhadap saudarinya itu. Bahkan ahli ibadah itu juga menunjukkan kuburannya. Namun setan menyangkal semua itu seraya berkata, “Ahli ibadah itu tidak berkata jujur tentang saudari kalian. Saudari kalian itu telah hamil dan melahirkan bayi karena perbuatan ahli ibadah, lalu dia membunuh saudari kalian dan menguburnya di balik pintu sebelah kanan di bilik yang ditempati saudari kalian. Pergilah kesana dan buktikan sendiri, tentu kalian akan mendapatkan apa yang kukatakan ini.”

Lalu Iblis mendatangi dua saudaranya yang lain dan mengatakan hal yang sama. Ketika sudah bangun mereka merasa heran dengan mimpi yang mereka alami dan mereka semakin heran ketika mereka memberi tahu tentang mimpi mereka masing masing.

“Ini hanya sekedar mimpi, kalian tak perlu memperdulikannya” kata yang paling tua .

Yang paling muda berkata, “Demi Allah aku tidak akan surut sebelum mendatangi tempat itu dan memeriksanya.”

Akhirnya mereka bertiga sepakat untuk mendatangi bilik yang dulu ditempati saudarinya. Mereka membuka pintu dan mencari cari tempat seperti yang diberitahukan kepada mereka lewat mimpi. Ternyata benar, saudari mereka dan anaknya terkubur di tempat itu. Mereka menemui ahli ibadah dan menanyakan tentang nasib saudari mereka dan tak ada pilihan lain bagi ahli ibadah selain mengakuinya karena godaan setan. Mereka pun menurunkan ahli ibadah dari biaranya dan siap untuk di salib. Tatkala ahli ibadah itu sedang diikat di papan, setan menemuinya seraya berkata, “Tentunya engkau sudah tahu bahwa sebenarnya akulah yang telah menggodamu dengan kehadiran wanita itu, lalu engkau membuatnya hamil, lalu engkau membunuhnya dan anaknya. Jika pada saat ini engkau tunduk kepadaku dan kufur kepada Allah yang telah menciptakanmu dan membentuk dirimu, tentu engkau akan selamat dari keadaan yang akan menimpamu ini..”

Maka ahli ibadah itu menyatakan kufur kepada Allah. Namun kemudian setan meninggalkannya begitu saja dan membiarkan orang orang menyalibnya. Karena peristiwa inilah Allah menurunkan surah Al Hasyr : 16

كَمَثَلِ الشَّيْطَانِ إِذْ قَالَ لِلإنْسَانِ اكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّي بَرِيءٌ مِنْكَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ

“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: ‘Kafirlah kamu’, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam’.”

Sungguh benar perkataan Al Haasan bin Shalih yang mengatakan “Sesungguhnya setan benar-benar akan membukakan 99 pintu kebaikan bagi seorang hamba, untuk tujuan membuka satu pintu keburukan.”

***
 
muslimah.or.id
 
Disalin dari buku Perangkap Setan karya Ibnul Jauzy penerbit Al Kautsar

Halusnya Godaan Dan Tipu Daya Setan

halus
Sesungguhnya setan dengan godaan halusnya, (pada awalnya) dia menampakkan (kepada seseorang) bahwa berdoa di sisi kuburan itu baik, dan bahwa berdoa seperti itu adalah lebih baik daripada berdoa di rumahnya atau di masjidnya atau di waktu sahur.
Jika hal itu telah meresap padanya, maka setan membawanya ke tahap berikutnya. Dari tahap berdoa di sisinya menuju ke tahap berdoa (ber-tawassul) dengannya (kuburan) dan bersumpah dengannya dalam meminta kepada Allah. Dan hal ini lebih parah dari sebelumnya. Karena kedudukan Allah lebih agung (dan tidak pantas) untuk disumpahi, atau dimintai dengan menyebut salah seorang makhluk-Nya, dan para imam islam telah mengingkari hal itu.
Jika setan telah meresapkan padanya bahwa bersumpah dengannya dalam meminta kepada-Nya dan doa (ber-tawassul) dengannya itu lebih menunjukkan pengagungan dan penghormatan, dan lebih ampuh untuk mengabulkan hajatnya, maka setan membawanya ke tahap berikutnya, yaitu: berdoa meminta langsung kepadanya (kuburan), bukan kepada Allah lagi.
Kemudian setelah itu, setan membawanya ke tahap yang lain, hingga dia menjadikan kuburan itu sebagai berhala yang dia tunggui, dia terangi dengan lentera, dia gantungi kain sitar, dia bangun masjid di atasnya, dia ibadahi dengan bersujud untuknya, ber-thowaf mengelilinginya, menciumnya, mengusapnya, bersafar kepadanya, dan menyembelih di sisinya.
Kemudian setan membawanya ke tahap yang lain, yaitu tahap mengajak manusia untuk menyembah kuburan itu, dan menjadikan hari khusus untuk perayaan dan upacara, dan dia katakan bahwa hal itu lebih berguna bagi mereka, baik di dunia maupun di akherat.
[Oleh: Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- dalam kitabnya: Ighotsatul Lahafan 1/296-298].
Oleh karena itu, waspadalah terhadap tipu daya setan, dan lihatlah diri masing-masing, sudah sampai tahap manakah setan membawanya… semoga Allah melindungi kita dan kaum muslimin dari godaannya.


Penulis: Ust. Musyafa Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslimah.Or.Id

SUNNATULLAH DAN TASYRI' ISLAMI



BAB. I   PENDAHULUAN


1.    Latar Belakang Masalah
Allah SWT menjadi langit dan bumi beserta isinya. Di langit ada bintang-bintang,  mentari, dan mahkluk angkasa lainnya. Di bumi Allah SWT menciptakan lautan, gunung, binatang, manusia, dan lain sebagainya.Semua ciptaan Allah tersebut hidup dalam keteraturan, keharmonisan dan keserasian.
Coba lihat perputaran matahari, planet dan bulan, mereka tetap berjalan pada porosnya. Tidak berbenturan satu sama lainnya. Seandainya semua itu tidak ada yang mengaturnya tentu akan hancur, dan bumi pun juga akan musnah. Tetapi semua tidak terjadi. Coba bayangkan seandainya dibumi tidak ada malam, niscaya daerah kutup akan mencair, volume lautan meningkat dan lain sebagainya. Seandainya bumi terus-menrus dalam keadaan malam, sinar mentari tidak ada, suhu bumi berada pada posisi nol derajat celsius sudah dapat dipastikan dunia akan beku. Dan begitu seterusnya.
Begitupun dengan kehidupan sosial, penuh dengan keharmonisan dan keteraturan.Ada kaya, ada miskin, ada kuat ada lemah. Dan lain sebagainya. Bias dibayangkan seandainya manusia ssemua kaya, pasti tidak ada yang mau jadi tukang becak, tidak ada tukang cuci, tidak ada angkot dan lain sebagainya. Kehidupan tidak akan indah dan harmonis. Kaya tidak ada artinya, kuat tidak bermakna. Adanya kaya, miskin, kuat, lemah, sehat, sakit, tinggi pendek, pintar, bodoh, gelap, terang, baik, buruk, air mengalir dari tempat tinggi ketempat rendah dan seterusnya merupakan ketetapan Allah yang berlaku sepanjang masa pada kehidupan kemasyarakatan. Ketetapan itu disebut dengan hukum-hukum alam, hukum kemasyarakatan atau sunnatullah. Ketetapan itu tidak berubah dan beralih sebagaimana yang disinyalir dalam banyak ayat al-Qur'an.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis menfokuskan pembahasan ini pada apa itu sunnatullah.


2.    Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud dengan sunnatullah?
2.    Bagaimanakah karakteristik dari sunnatullah?
3.    Bagaimanakah klasifikasi/pengelompokan dari sunnatullah?
4.    Ada berapa macam sunnatullah itu?
5.    Apakah yang dimaksud dengan tasyri’ Islami?
6.    Apa sajakah yang terdapat dalam ruang lingkup tasyri’ Islami?
7.    Bagaimanakah penetapan dan sumber hukum pada masa Nabi Muhammad saw?
8.    Dan bagaimana pula sumber hukum pada masa sahabat?



BAB. II   PEMBAHASAN


A.   SUNNATULLAH
1.    Pengertian Sunnatullah
Sunnatullâh merupakan istilah dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu sunnah (ﺳﻨﺔ) dan Allah (ﺍﻟﻠﻪ). Dengan digabungkannya dua kata tersebut, maka menjadi susunan iḍafiah (ﺇﺿﺎﻓﻴﺔ), susunan kata yang terdiri dari kata yang berpredikat sebagai mudlof (kata yang disandari) dan mudlof ilaihi (kata yang disandarkan). Kata sunnat berkedudukan sebagai mudlof (ﻣﻀﺎﻑ) dan kata Allah berkedudukan sebagai mudlof ilaihi (ﻣﻀﺎﻑﺍﻟﻴﻪ) nya. Di dalam bahasa arab, kata sunnat dengan fi'il madli (kata kerja untuk masa lampau) nya sanna ini mempunyai beberapa arti. Diantaranya adalah, tharīqat (jalan, cara, metode), as-sīrat (peri kehidupan, perilaku), thabī'at (tabiat, watak), asy-syrī'at (syariat, peraturan, hukum) atau dapat juga berarti suatu pekerjaan yang sudah menjadi tradisi (kebiasaan).[1]
Menurut Syaikh al Islam Ibnu Taimiyah, sunnat adalah kebiasaan yang dilakukan kedua kalinya seperti apa yang dilakukan pertama kalinya. Sedangkan menurut Ar Razi, sunnat adalah jalan yang lurus dan tauladan yang diikuti. Diantara pendapat kedua tokoh Islam dan beberapa pendapat lain tentang arti kata sunnat, makna sunnat berkisar pada jalan yang diikuti. Dan secara umum, kata sunnat digunakan oleh al-Qur’ān sebagai cara atau aturan.[2]
Sedangkan kata Allah adalah nama bagi Dzat Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta dan Maha Adil, dan Maha Segalanya. Setiap nama Allah mencakup diri-Nya dan juga yang lainnya. Bersifat hakiki untuk-Nya dan majazi bagi yang lainnya. Di dalamnya terkandung makna rubūbiyah (ketuhanan) dan seluruh makna itu tercakup di dalamnya.
Nadhr Bin Syāmil berkata, kata Allah diambil dari kata at-ta'alluh (ﺍﻟﺘﻌﻠﻪ) yang berarti ibadah. Ulama yang lain berkata, kata itu diambil dari kata al-ilāh yang berarti menjadi sandaran. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kata itu berarti al- muhtajib (ﺍﻟﻤﺤﺘﺠﺐ), yang menutupi.[3]
Lebih lanjut mengenai hal ini, di dalam al-Qur’ān surat al-Hadīd ayat 3 dijelaskan bahwa Allah adalah Dzat Yang Awal dan Yang Akhir, Yang ẓahir dan Yang Batin, dan Dia adalah Dzat Maha mengetahui segala sesuatu, meliputi seluruh yang ada di alam semesta ini.
Jadi, sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-ketetapan atau hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta.[4]
Sedangkan, di antara beberapa pengertian secara terminologis yang menurut penulis lebih mencakup adalah bahwa Sunnatullāh adalah sebagai jalan yang dilalui dalam perlakuan Allah terhadap manusia sesuai dengan tingkah laku, perbuatan dan sikapnya terhadap syariat Allah dan Nabi-Nya dengan segala implikasi nilai akhir di di dunia dan akhirat.[5]

2.    Karakteristik Sunnatullah
Sunnatullah berarti tradisi Allah dalam melaksanakan ketetapanNya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta, atau dalam bahasa akademis disebut hukum alam. Diantara karakter/sifat sunnah atau ketetapan Allah antara lain:
a.    Selalu ada dua kondisi yang saling ekstrem(berlawanan), seperti surga-neraka, benar-salah, baik-buruk.
b.    Segala sesuatu diciptakan secara berpasangan (dua atau lebih).
c.    Selalu terjadi pergantian dan perubahan antara dua kondisi yang saling berbeda, seperti  siang-malam, panas-dingin.
d.   Setiap perubahan, penciptaan maupun penghancuran selalu melewati proses.
e.    Alam yang diciptakan dalam keadaan seimbang, teratur dan terus berkembang.
f.     Setiap terjadi kerusakan di alam manusia, Allah mengutus seorang utusan untuk memberi peringatan atau memperbaiki kerusakan tersebut.[6]

3.    Klasifikasi/Sifat Sunnatullah
Bukan terjadi karena kebetulan, akan tetapi terjadi disebabkan adanya ketentuan-ketentuan baku yang mengatur terjadinya suatu kejadian. Penciptaan alam semesta dan seluruh makhluk yang ada, termasuk manusia diciptakan bukan untuk main-main (La'b) atau kepalsuan (Bāthil), penciptaan yang tanpa maksud dan tujuan.
Secara global, aturan-aturan tersebut di bagi ke dalam dua segi, yang pertama adalah aturan yang semua makhluk hidup tunduk kepadanya dalam eksistensinya sebagai benda, begitu juga semua kejadian yang dialami oleh benda itu. Tunduk pula keberadaan manusia dengan segala perkembangannya. Segi aturan pertama ini dialami oleh seluruh makhluk dan benda yang ada, termasuk manusia. Pergantian siang dan malam, gunung meletus, proses kelahiran dan perkembangan biologis manusia dan lain sebagainya. Dalam segi aturan global pertama ini para ahli tidak ada yang mengingkari akan keberadaan hukumnya.[7]
Dan yang kedua, aturan yang berhubungan dengan tunduknya manusia pada aturan sebagai makhluk individu dan sosial. Ketundukan di sini dimaknai sebagai ketundukan manusia dalam kehidupannya. Baik tingkah laku, baik dan buruknya, kebagiaan dan kesedihannya, terhormat dan hinanya, kuat dan lemahnya, adzab dan nikmatnya serta segala sesuatunya yang disesuaikan dengan apa yang telah ditetapkan aturan ini. Di sinilah fungsi adanya syari'at, dengan kitab suci dan hadits-hadits nabinya, berperan sebagai penjelas. Pembagian ini lebih disinkronkan dengan tugas dan tanggung jawab manusia sebagai 'Abd (hamba Allah) dan khalifah di muka bumi.[8]
Dari kedua kategori global tersebut, ada tiga sifat utama Sunnatullāh yang diterangkan di dalam al-Qur’ān dan dapat ditemukan dalam riset oleh setiap saintis yaitu:
Pertama, exact (pasti). Sebagaimana disebutkan ayat-ayat muhkamat di dalam firman Allah swt, yang artinya antara lain :
Artinya: Yang kepunyan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segal sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya. (QS. Al Furqān ayat 2)
Artinya: Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan-ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalāq ayat 3).
Dengan sifat Sunnatullāh ini manusia mendapat jaminan yang memberi kemudahan bagi manusia dalam suatu rencana berdasarkan perhitungan. Hal inilah, secara fungsional mendorong manusia untuk berkreasi dan meningkatkan proses kemanusiaannya menuju kepada yang lebih baik.[9]
Kedua. Immutable, tetap atau tidak berubah. Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah swt, yang artinya :
Artinya, Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (QS. Al-Isra’ayat 77).
Dengan adanya sifat seperti ini, manusia dapat memahami suatu fenomena yang terjadi di alam ini dengan mengamati relasi-relasi konsisten yang ada di dalamnya. Sehingga memberikan keyakinan bagi manusia dalam menjalani tugas dan tanggung jawabnya di dalam kehidupan dunia ini.[10]
Ketiga. Objective. Dengan sifat Sunnatullāh ini dapat difahami bahwa, siapapun yang melakukan kehidupannya di dunia ini dengan mematuhi ketentuan-ketentuan di dalam Sunnatullāh, maka ia akan memperoleh apa yang menjadi tujuannya. Dan sebaliknya, barang siapa yang tidak mengikuti Sunnatullāh secara konsisten, maka ia tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. Dalam ranah inilah terminologi 'amal shālih diartikan sebagai perbuatan yang sesuai dan mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Sunnatullāh.[11]
Sebagaimana yang termaktub di dalam Alqurān yang artinya,
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermcam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ”Bilakah datangnya pertolongan Allah?” ingatlah, sesungguhnnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-Baqarah ayat 214)

4.    Macam-Macam Sunnatullah
Sunnatullah terdiri dari dua macam, yaitu :
a.    Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang tertulis dalam bentuk lembaran atau dibukukan, yaitu Al-Qur’an.
b.    Sunnatullah kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan berupa kejadian atau fenomena alam. Contohnya, matahari terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat.

B.       TASYRI’ ISLAMI
1.        Pengertian Tasyri’ Islami
Kata tarikh barasal dari kata “ta’rikh” dengan kata kerja (fi’il) arrakha yang berarti menentukan waktu terjadinya sesuatu.Kata ini terkadang juga digunakan untuk menunjukkan waktu terjadinya sesuatu, mencakup semua kejadian yang terjadi pada waktu itu dalam berbagai keadaan.[12]
Sedangkan kata tasyri’ adalah bentuk mashdar (verbal noun) dari kata kerja syarra’a yang berarti membuat syariat.Penutur asli bahasa Arab menggunakan kata ini untuk dua arti berikut.
a.    Jalan yang lurus. Terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Jatsiyah (45) ayat 18.
b.    Air mengalir yang biasa digunakan untuk minum, sebagaimana ucapan orang Arab ;Syara’at al-ibil berarti (unta itu tengah pergi mencari tempat air).[13]
Sedangkan menurut terminology fuqaha’, kata syariat dipakai untuk menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya melalui lisan seorang rasul.[14]
Merujuk kepada pengertian diatas, kata tasyri’ mengandung arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
Jika demikian halnya, kata tasyri’Islami hanya terjadi pada waktu Rasulullah SAW masih hidup saja karena baginda adalah penyampai dari Rabbnya, sedangkan setelah baginda wafat tidak ada satu orang pun yang memiliki kapasitas ini, sebab baginda adalah penutup para nabi dan rasul.
Sebab, syariat Islam sudah sempurna di zaman baginda masih hidup. Sebagaimana firman Allah SWT,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتي‏ وَ رَضيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ ديناً
Artinya, …pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah (5) ayat 3).
      Sepeninggal Rasulullah, ijtihad para sahabat dan tabi’in praktis tidak ternasuk tasyri’ dalam arti yang sesungguhnya, melainkan hanya bersifat tausi’i (perluasan) dalam penerapan kaidah-kaidah kulli (makro) dan mengaplikasikannya dalam masalah-masalah juz’iy (mikro) yang terus berkembang, meng-istinbat (mendeduksi) hukum dari sumbernya untuk memahami hadis dan mengqiyaskan pemahamannya.
Dengan begitu, tarikh tasyri’ adalah ilmu yang membahas tentang kondisi fiqh Islam pada zaman Rasulullah dan seterusnya dengan menentukan fase-fase perkembangan sumber-sumber syariat dan hukumnya, menjelaskan setiap perubahan yang terjadi berupa naskh (amandemen), takhshih (pengkhususan), dan tafri’ (penjabaran).Ilmu tarikh tasyri’ juga mengkaji tentang kondisi para fuqaha’ (ahli fiqih) pada setiap fase (marhalah), menelaah metodologi meraka dalam menetapkan sebuah hokum serta warisan keilmuan dan ijtihad yang terhimpun dalam fiqh Islam.[15]

2.    Azas Hukum Tasyri’
¢OèOy7»oYù=yèy_4n?tã7pyèƒÎŽŸ°z`ÏiB̍øBF{$#$yg÷èÎ7¨?$$sùŸwurôìÎ7®Ks?uä!#uq÷dr&tûïÏ%©!$#ŸwtbqßJn=ôètƒ
Artinya : “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
Ayat inilah yang menjadi asas atau dasar Tasyri’ dalam Al Qur’an, yang kemudian berkembang kedalam Hukum Islam lainnya.[16]

3.    Ruang Lingkup Tarikh Tasyri’ Islami
Tasyri’ Islami dengan makna istilah yang sudah disebutkan sebelumnya, mencakup semua jenis hukum yang ditetapkan Allah kepada hambanya yang terdiri dari :
a.    Al-Ahkam al-I’tiqadiyah (hukum-hukum teologis), yaitu semua hokum yang berkaitan dengan aqidah Islam seperti tauhid kepada Allah, kerasulan, para malaikat, jin, hari kiamat, hari mahsyar, pembalasan, surga, dan neraka. Semuanya dijelaskan secara lengkap dalam kitab tauhid atau ilmu kalam.
b.    Al-Ahkam al-wijdaniyah (hukum-hukum yang berkaitan dengan intuisi/hati), yaitu setiap yang berkaitan dengan masalah akhlak batin, perasaan jiwa seperti zuhud, wara’, sabar, bijak, iffah, dermawan, dan yang lainnya. Semua pembahasan ini dijelaskan dalam kitab akhlak dan tassawuf.
c.    Al-Ahkam al-‘amaliyah (hukum-yang berkaitan dengan amal perbuatan), yaitu setiap perbuatan indrawi/amali seorang hamba seperti shalat, zakat, jual beli, sewa-menyewa, maninggalkan riba, minuman keras dan mencuri. Semua dijelaskan secara lengkap dalam kitab fiqh.

4.    Periodisasi Perkembangan Hukum Islam (Tasyri’ Islam)
Para ulama menggunakan dua cara untuk membagi tahapan demi tahapan perkembangan syariat Islam, diantara mereka ada yang menjadikan pembagian syariat Islam sama seperti perkembangan manusia dari segi tahapan perkembangan, manusia mengalami zaman kanak-kanak, dewasa dan zaman tua, demikian juga halnya dengan syariat Islam dalam perkembangan dan perjalanannya.
Ada juga yang menjadikan pembagian ini dengan melihat aspek perbedaan dan ciri-ciri utama yang juga mempunyai pengaruh yang besar dalam fiqh, mereka menggunakan cara ini juga berbeda pendapat tentang jumlah tahapan syariat Islam. Sebagian mengatakan empat fase, sebagian lagi mengatakan ada lima, ada yang enam, dan ada juga pendapat lain yang mengatakan tujuh.
Pendapat yang lebih tepat dan kami pilih dari pembagian ini, yaitu pendapat yang mengatakan ada empat fase sebagai berikut :
1.    Fase kelahiran dan pembentukan, merentang sepanjang masa hidup Rasulullah SAW, sehingga dapat kita istilahkan sebagai fase penurunan dan kedatangan wahyu.
2.    Fase pembangunan dan penyempurnaan, mencakup masa sahabat dan tabi’in sampai zaman pertengahan abad keempat hijriah.
3.    Fase kejumudan dan taqlid, mulai dari pertengahan abad keempat sampai abad dua belas hijriah.
4.    Fase kebangkitan dan kesadaran, mulai dari abad dua belas hijriah sampai sekarang ini.





A.      Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat
1.        Syariat pada Masa Kerasulan
Masa kerasulan atau masa hidup Rasulullah saw dapat disebut juga sebagai fase kelahiran dan pembentukan hukum syariat Islam berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a.    Kesempurnan dasar dan sumber-sumber utama fiqh Islam pada masa ini.
b.    Setiap syariat (undang-undang) yang datang setelah zaman ini semuanya merujuk kepada manhaj yang telah digariskan Rasulullah saw dalam meng-istinbat(mengeluarkan) hukum syar’i.
c.    Periode-periode setelah era kerasulan (sepeninggal Rasulullah saw) tidak membawa sesuatu yang baru dalam fiqh dan syariat Islam, melainkan hanya pada masalah-masalah baru atau kejadian yang tidak ada di zaman Rasulullah saw.[17]

2.    Rentang Waktu Fase Pendirian dan Pembentukan Hukum Syariat Islam pada Masa Kerasulan
Fase ini dimulai sejak diutusnya Rasulullah saw pada tahun 610 M hingga wafatnya baginda Rasulullah saw pada tahun kesepuluh hijriah. Jadi, secara keseluruhan fase ini berlangsung selama dua puluh tiga tahun.

3.    Tahapan Tasyri’ pada Masa Kerasulan
Fase ini bermula ketika Allah swt mengutus nabi Muhammad saw membawa wahyu berupa Alquran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jum’at 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijriah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus turun kepada baginda Rasulullah saw di Mekah selama tiga belas tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah dan ditempat-tempat lain setelah hijrah selama sepuluh tahun, sampai Rasulullah saw wafat pada tahun 11 hijriah.
Terkadang wahyu turun kapada Rasulullah saw dalam bentuk Alquran yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari Rasulullah, atau yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk hadis. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan Islam ditetapkan dan ditentukan (Alquran dan Hadits).
Atas dasar ini, perundang-undangan pada masa Rasulullah mengalami dua periode istimewa, yaitu periode legislasi hukum syariat di Mekah yang dinamakan perundang-undangan era Mekah (at-tasyri’ al-makki) dan periode legislasi hukum syariat di Madinah yang kemudian disebut perundang-undangan era Madinah (at-tasyri’ al-madani).
a.    Tasyri’Periode Mekah
Periode terhitung sejak diangkatnya nabi Muhammad menjadi Rasul sampai beliau hijrah ke Madinah.Periode ini berlangsung selama 10 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini lebih focus pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membeersihkan akidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah, selain menanamkan akhlak-akhlak mulia agar memudahkan jiwa untuk dapat menerima segala bentuk pelaksanaan syariat.
Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia kepada dua arahan utama :
1.    Mengokohkan akidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah swt dan bukan yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul dan hari akhir.
2.    Membentuk akhlak agar manusia memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan sifat-sifat tercela.
b.   Tasyri’ Periode Madinah
Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasululah dari Mekah hingga beliau wafat.Periode ini berlangsung selama 13 tahun.
Perundang-undangan hukum Islam pada periode ini menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah Islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak.
Secara umum, semua hukum baik yang berupa perintah atau larangan kepada mukallaf turun pada fase ini, kecuali hanya sedikit seperti hukum shalat yang diturunkan pada waktu malam isra’ dan mi’raj satu tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah.Selain yang ini berupa ibadah, muamalah, jinayah, hudud, warisan, wasiat, pernikakan, dan talak semuanya turun pada fase ini.
Adapun contoh dari ayat-ayat hukum yang turun pada periode Madinah seperti: 
1.    Peristiwa Martsad Ganawi. Martsad Ganawi adalah utusan Rasulullah sawdari madinah ke Mekah. Setibanya dia di kota tersebut ia dilamar oleh seorang wanita musyrik yang kaya dan cantik, namun Martsad Ganawi tidak segera memberikan putusan karena wanita tersebut belum masuk Islam. Selanjutnya dia melaporkan hal tersebut kepada Nabi dan turunlah hukum tentang perkawinan antar agama yang melarang perkawinan dengan wanita musyrik begitu juga sebaliknya perempuan beriman yang dinikahi oleh laki-laki musyrik.[18]
2.  Peristiwa janda Sa’ad bin rahi. Janda ini mempunyai dua orang anakperempuan dan mempunyai warisan dari suaminya. Menurut kebiasaan orang-orang Arab, mereka tidaklah mendapat apa-apa dari warisan tersebut dan beralih kepada saudara laki-laki dari Sa’ad. Maka hal ini diadukan janda sa’ad kepada Nabi saw., dan kemudian turunlah ayat tentang hukum warisan.[19]
3. Turunya ayat Al Qur’an tentang hukum larangan berperang pada bulan-bulan dan tempat-tempat yang diharamkan oleh Allah SWT, untuk berperang.[20]

4.    Sumber Tasyri’ pada Fase Kerasulan
Sumber perundang-undangan hukum Islam (tasyri’) pada fase ini terhimpun dalam satu sumber, yaitu wahyu yang turun kepada Rasulullah dari sisi Allah.
Wahyu sendiri ada dua macam, yaitu wahyu yang terbaca, yaitu Alquran, dan wahyu yang tidak dibaca yaitu sunnah nabawiyyah.
a)    Pertama ; Alquran Al-Karim
Alquran Al-Karim adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad saw dianggap ibadah membacanya, menjadi penantang dengan surah terpendek darinya, diawali dengan surah Al-Fatihah dan ditutup dengan Surah An-Nas.
Alquran merupakan sumber pertana dan utama bagi perundang-undangan Islam, ia meliputi semua ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan undang-undang dan peraturan.

b)        Kedua ; As-Sunnah An-Nabawiyyah
As-Sunnah An-Nabawiyyah adalah setiap yang keluar dari Rasulullah saw, baik berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan.
As-Sunnah menempati urutan kedua setelah Alquran karena ia menjadi penguat, penjelas, penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada dalam Alquran.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang diturunkan global sebagaimana firman Allah swt : “Dan dirikanlah shalat”. Ini adalah nash global dalam pensyariatan shalat, sedangkan dari segi waktu, jumlah rakaat, dan rukunnya dijelaskan oleh As-Sunnah dengan sabda Rasulullah saw :Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya shalat.
As-Sunnah juga menjelaskan hukum sesuatu yang didiamkan oleh Alquran, hal ini dapat dilihat dalam banyak masalah, diantaranya kaharaman menggabungkan (memadu) antara seorang wanita dengan bibinya (baik dari garis bapak atau ibu). Hal ini dinyatakan Rasulullah saw, dalam sabda : “Tidak boleh seorang suami memadu antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis bapak) dan juga tidak boleh antara seorang wanita dengan bibinya (dari garis ibu). Ketentuan ini sebelumnya tidak diterangkan dalam Alquran.
As-Sunnah juga datang sebagai penegas terhadap hokum yang ada dalam Alquran seperti haramnya mencuri, riba, dan memakan harta orang lain dengan cara bathil.


5.    Metode Pensyariatan pada Fase Ini
Nabi Muhammad saw. Menyampaikan syariat (perundang-undangan) pada fase ini melalui beberapa cara, diantaranya :
1)   Memberikan ketentuan hukum terhadap permasalahan atau kejadian yang muncul atau yang ditanyakan oleh para sahabat, lalu beliau memberi jawaban terkadang dengan satu ayat atau beberapa ayat dari Alquran yang memang turun sebagai jawabannya. Sebagaimana firman Allah swt,
يَسْأَلُونَكَمَاذَايُنْفِقُونَۖقُلْمَاأَنْفَقْتُمْمِنْخَيْرٍفَلِلْوَالِدَيْنِوَالْأَقْرَبِينَوَالْيَتَامَىٰوَالْمَسَاكِينِوَابْنِالسَّبِيلِۗوَمَاتَفْعَلُوامِنْخَيْرٍفَإِنَّاللَّهَبِهِعَلِيمٌ

Artinya, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, “apa saja yang kamu nafkahkan hendaknya diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. ‘Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al-Baqarah (2) ayat 215).
2)   Terkadang Rasulullah member jawaban dengan ucapan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Rasulullah kepada sebagian sahabat ketika ada yang bertanya, “Kami menyebrangi lautan apakah kami boleh berwudhu dengan air laut?” Beliau menjawab, “Ia suci airnya dan halal bangkainya.”

6.    Ijtihad Nabi
Yang dimaksudkan dengan ijtihad Nabi adalah mengeluarkan hukum syariat yang tidak ada nash nya. Ulama berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya Rasulullah berijtihad kedalam kedua kelompok besar :
Pertama, kalangan Asy’ariyah dari ahli sunnah dan mayoritas Mu’tazilah. Mereka berpegang teguh bahwa Rasulullah tidak boleh berijtihad sendiri. Diantara dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah swt,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

Artinya, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan. (QS. An-Najm ayat 3-4).
Ayat ini menafikan bahwa Rasulullah menetapkan sebuah hukum berdasarkan pendapat pribadi yang tidak ada wahyu dengan itu karena setiap permasalahan yang muncul, Rasulullah selalu berharap ada wahyu yang turun menjelaskan hukumnya dan ketika wahyu turun maka itu pasti benar tidak ada yang salah. Dan jika Rasulullah berijtihad dengan pendapatnya sendiri maka ijtihadnya itu ada kemungkinan benar atau salah, dan jika memang ia benar atau lebih dekat dengan kebenaran maka tidak boleh ditinggalkan lalu mengamalkan yang masih belum pasti selama yang pertama masih bisa diamalkan.
Dalil ini disanggah karena hujjah (alasan) yang disebutkan tidak dapat diterima, sebab kata ganti “huwa” dalam ayat “in huwa illa wahyun yuha” (ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan) kembali kepada Alquran, karena ayat ini turun sebagai jawaban terhadap ucapan orang kafir yang mengatakan bahwa Alquran adalah rekayasa Muhammad. Ayat ini turun dengan sebab khusus, sehingga makna yang sesuai adalah bahwa ayat yang dibaca oleh Muhammad bukan keluar dari hawa nafsu melainkan wahyu dari Allah. Oleh karena itu, ayat tersebut hanya khusus untuk kasus Alquran, dan tidak dapat digeneralisir pada keseluruhan ucapan Rasulullah saw.
Seandainya kita sepakat ada makna umum, maka ijtihadnya Nabi saw. Tidak sama dengan ijtihadnya orang lain karena ia juga akan berakhir dengan wahyu. Karena jika baginda tepat dalam ijtihadnya, pastilah wahyu akan mengakuinya dan jika salah maka wahyu akan selalu mengarahkannya.
Kedua, mayoritas ulama ushul mengatakan boleh bagi Rasulullah untuk berijtihad dalam setiap urusan, Rasulullah boleh berijtihad dalam semua perkara yang tidak ada nash-nya, dalil mereka ;
Nabi Muhammad diperintahkan untuk berijtihad dengan keumuman firman Allah, “Maka carilah pelajaran wahai orang-orang yang berakal”.Artinya bandingkan antara kejadian yang tidak ada hukumnya dengan kejadian yang sudah ada hukumnya jika ada kemiripan antara keduanya dalam illat dan ini adalah salah satu bentuk ijtihad.
Ada sejumlah riwayat dari Rasulullah saw, yang menjelaskan bahwa beliau diberi hak memilih dalam beberapa kejadian :
      i.     Sabda Rasulullah, “Seandainya tidak terlalu memberatkan umatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak shalat.” Hadis ini menerangkan bahwa Rasulullah telah meletakkan satu hukum kepadanya, selain itu hadis ini menjelaskan seandainyan tidak ada masyaqqah (kesusahan) dalam praktik pelaksanaan siwak setiap jelang shalat pada diri kaum muslimin, maka pastilah Rasulullah akan memerintahkan mereka untuk bersiwak.
    ii.     Sabda Rasulullah, “kalau bukan karena kaummu masih dekan dengan zaman kekufuran pastilah aku mendirikan ka’bah sesuai dengan bangunan Ibrahim.
Adapun contoh ijtihad Rasulullah saw, antara lain ketika beliau memberikan izin kepada orang-orang munafik yang meminta izin untuk tidak ikut dalam perang Tabuk, maka turunlah ayat,
Artinya, Semoga Allah memaafkanmu.Mengapa kamu member izin kepada mereka, sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?” (QS. At-Taubah (9) ayat 43).
Dari sini jelaslah bahwa ijtihadnya Nabi memang telah terjadi dalam perkara yang tidak ada nash-nya, dan semua ijtihad ini dikelilingi oleh wahyu dari segala sisi, jika Rasulullah salah dalam salah satu ijtihadnya maka wahyu tidak akan membiarkannya begitu saja, tetapi akan meluruskannya.

7.    Karakteristik Perundang-Undangan pada Masa Kerasulan
Beberapa karakteristik perundang-undangan pada masa kerasulan adalah sebagai berikut :
a.    Sumber perundang-undangan zaman ini hanya berasal dari wahyu dengan dua bagiannya, baik yang terbaca yaitu Alquran, ataupun yang tidak terbaca yaitu As-Sunnah/Hadis.
b.    Referensi utama untuk mengetahui hukum-hukum syara’ pada zaman ini adalah Rasulullah SAW sendiri, sebab Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah.
c.    Perundang-undangan Islam pada masa ini telah sempurna hukumnya, telah dikukuhkan kaidah dan dasarnya sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 3.
d.   Kesempurnaan syariat dapat dilihat dari aspek manhaj yang unik dan metode yang khusus, dimana kitab Allah dan Sunnah Rasulullah memuat beberapa kaidah dan dasar-dasar yang kokoh dan membuka pintu ijtihad kepada para ulama untuk mengeksplorasi kembali serta berjalan diatas behteranya yang memuat produk perundang-undangan yang elastic dan sesuai untuk segala kondisi dan zaman sehingga sangat mudah bagi para mujahid untuk mengembangkan kaidah-kaidah umum tersebut dan menerapkannya dalam masalah cabang berdasarkan illat hukum yang ada sehingga tidak ada satu masalah baru yang muncul kecuali jawabannya ada dalam kitab Allah.
e.    Fiqh Islam dengan pengertian secara terminologinya belum muncul pada zaman ini.
f.     Pada masa Rasulullah, jika ada yang bertanya tentang hukum sesuatu maka Rasulullah akan menjawabnya, dan ketika Rasulullah sedang tidak ada ditempat maka para sahabat akan berijtihad sendiri, kemudian mengembalikan keputusannya kepada Rasulullah untuk ditetapkan atau dibatalkan.
g.    Belum terlihat pada zaman ini ada masalah-masalah yang bersifat iftiradhiyah (hipotesis), semua masalah lahir dari realitas hidup yang perlu dijelaskan hukumnya.[21]

B.   Fase Pengembangan dan Penyempurnaan Hukum Syariat Islam
Fase ini memakan waktu yang sangat panjang, mulai dari tahun 11 hijriah sampai akhir abad 14 hijriah.Dalam fase ini terdapat 3 tahapan, yaitu 1.Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin, 2. Masa Dinasti Umayyah, 3. Masa Dinasti Abbasiyah. Akan tetapi dalam pembahasan ini, kami hanya akan menjelaskan mengenai tasyri’ pada masa sahabat saja.
1.    Tasyri’ pada Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin
Periode ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqh Islam.Periode ini berawal dari zaman wafatnya Rasulullah pada tahun 11 hijriah sampai akhri zaman khulara’ar rasyidin pada tahun 40 hijriah.
Setelah hukum-hukum sempurna pada masa kerasulan, lalu pindah ke masa sahabat, mereka harus memikul tanggung jawab mencari sumber-sumber syariat yang ada agar dapat menjawab segala perkembangan dan kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada nash nya dalam Alquran atau sunnah.
a.    Definisi Sahabat
Adapun yang dimaksud dengan sahabat menurut terminology para ulama fiqh adalah setiap orang yang pernah bertemu dengan Rasulullah saw, dalam status beriman kepadanya, dan meninggal dunia dalam keadaan beriman pula.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat tentang lamanya interaksi/pergaulan (shuhbah)dengan Rasulullah dan banyaknya periwayatan Nabi.Sebagian mereka mensyaratkan seorang sahabat harus bergaul dengan Nabi selama satu atau dua tahun dan pernah berperang bersama baginda Rasulullah walaupun hanya sekali atau dua kali.
Sebagian ulama ada yang tidak memberikan syarat seperti diatas, sehingga setiap orang yang bertemu dengan Nabi adalah sahabat, lepas dari apakah ia lama atau sebentar bergaul dengan Rasulullah, juga apakah ia pernah meriwayatkan hadis dari Nabi atau tidak, pernah berperang atau tidak bersama beliau. Singkat kata,  siapa yang pernah melihat baginda Rasulullah walaupun tidak sempat duduk bersama beliau juga dinamakan sahabat, termasuk juga orang yang tidak sempat melihat karena ada kendala seperti buta. Namun, ada ulama yang memberikan syarat harus melihat pada waktu ia berusia tamyiz.
Menurut pendapat yang kedua, jumlah para sahabat sangat banyak. Abu Zur’ah menuturkan bahwa ketika wafat, Rasulullah meninggalkah 114.000 orang sahabat yang pernah meriwayatkan hadis Nabi, dalam riwayat lain termasuk orang yang pernah melihat dan mendengar dari Rasulullah. Abu Zur’ah ditanya, “Dimana mereka dan dimana mereka mendengar hadis Nabi?” Ia Menjawab, “Dia terlihat oleh penduduk Madinah, penduduk Mekah dan diantara keduanya, orang-orang Arab badui, orang yang bersama Nabi pada waktu haji wada’, dan setiap orang yang melihat dan mendengar Nabi di Arafah.

b.   Kelebihan Para Sahabat dalam Memahami Syariat
Para sahabat memiliki keistimewaan tersendiri dalam memahami syariat Islam dibandingkan orang lain, disebabkan beberapa factor sebagai berikut :
1.    Mereka sangat dekat dan bertemu langsung dengan Nabi sehingga memudahkan mereka untuk mengetahui asbabun nuzul ayat dan hadis. Mereka juga menetahui penafsiran Rasulullah tentang beberapa ayat selain juga mengetahui illat hukum dan hikmahnya yang hasilnya dapat memudahkan mereka untuk melakukan qiyas terhadap nash-nash yang ada kemiripan lalu menetapkan hukumnya.
2.    Mereka memiliki tingkat pemahaman yang tinggi terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa Alquran sehingga mudah untuk memahami makna Alquran sebab diturunkan dengan bahasa Arab.
3.    Mereka menghafal Alquran dan sunnah Rasulullah, menjadi orang pertama yang mempelajari ilmu syariat dan hukumnya.[22]

c.    Perbedaan dalam Memahami Syariat di Kalangan Sahabat
Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya sebagai berikut :
1.    Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan carapemakaiannya, tetapi ada jiga yang tidak bisa. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab  ketika ia membaca firman Allah dalam khutbahnya, “Átau Allah mengazab mereka menghina (takhawwufin), kemudian Umar bertanya kapada hadirin tentang maknatakhawwufin, “apa pendapat kalian tentang ayat ini dan apa arti takhawwufin itu? “Lalu berdirilah seorang yang sudah berusia lanjut dari kabilah Huzail dan berkata, “ini bahasa kami dan takhawwufin artinya menghina (tanaqqush)”. Umar berkata, “Apakah orang Arab tahu ini dalam syair mereka?” Ia menjawab,”Ya”, dan diapun menyebutkan sebuah bait syair untuk meperkuat ucapannya. Umar berkata, “Jagalah syair kalian dan kalian tidak akan tersesat. “Para sahabat bertanya, “Apa itu syair (diwan) kami?” Umar menjawab, “Syair Jahiliah, sebab didalamnya ada penafsiran untuk kitab kalian dan makna ucapan kalian.”
2.    Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah, sebab bergaul dengan Rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbabun nuzul ayat dan sunnah, serta membuka pikiran untuk memahami makna syariat secara lebih dalam. Oleh karena itu, semakin banyak seseorang bergaul dengan Rasulullah maka semakin baik pemahamannya.
3.    Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengeluarkan hukum (istinbat), dan kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash-nash syariat.[23]

d.   Sumber Tasyri’ pada Masa Sahabat
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban setelah Rasulullah tiada untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan nashnya dan ada yang belum disebutkan hukumnya. Oleh karena itu.Para sahabat dituntut untuk mengeluarkan hukum (istinbat)dengan metode yang jelas sesuai dengan petunjuk Nabi sehingga produk hukum yang digunakan tidak kontradiktif.
Hal ini dapat dilihat dalam kitab karya Imam Al-Baghawi, Mashabih As-Sunnah. Dari Maimun bin Mihran, ia berkata, “Jika ada orang yang berselisih datang kepada Abu Bakar, ia akan melihat kitab Allah. Jika ia temukan didalamnya apa yang bisa memutuskan perkara mereka, maka ia akan memutuskan dengannya. Sementara jika tidak ada dalam Kitab Allahdan ia tahu ada sunnah dari Rasulullah tentang hal itu, maka ia akan memutuskan dengannya. Kemudian jika tidak ada, Abu Bakar akan keluar menemui kaum muslimin dan berkata,  “Ada yang datang begini dan begitu, apakah kalian ada yang tahu Rasulullah pernah memutuskan hal itu, atau ada sekelompok sahabat yang berkumpul lalu baginda Rasulullah menceritakan hal itu kepada mereka?” Jika ia tidak menemukannya juga dalam sunnah Rasulullah, maka ia akan mengumpulkan para pemimpin (tokoh) dan orang-orang pilihan dan bermusyawarah dengan mereka. Jika dalam musyawarah tersebut Abu Bakar sudah menyatukan pendapat mereka tentang sesuatu, maka itulah yang akan menjadi keputusannya.
Demikian juga halnya dengan Umar, ia melakukan apa yang pernah dilakukan Abu Bakar, jika ia tidak menemukan jawabannya dalam Alquran dan sunnah, ia akan melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan hal itu? Jika ia menemukan keputusan Abu Bakar, maka ia akan memutuskan dengan itu, dan jika tidak maka ia akan mengundang para pemimpin kaum, dan jika mereka sudah bersepakat terhadap sesuatu maka ia akan melaksanakan putusan itu.
Dari sini jelaslah bagi kita bahwa sumber pensyariatan (perundang-undangan) pada masa sahabat adalah :
1.    Al-Qur’an
2.    As-Sunnah
3.    Ijma’
4.    Ijtihad (ra’yi)[24]
      Dalam aplikasinya, sumber-sumber perundang-undangan ini dapat diurutkan dalam langkah-langkah praktis sebagai berikut :
      Pertama, meneliti dalam kitab Allah untuk mengetahui hukumnya.
      Kedua, meneliti dalam sunnah Rasulullah jika tidak ada nash dalam kitab Allah. Jika mereka menemukan nashdalam kitab Allah atau sunnah yang menunjukkan hukumnya, merekapun berhenti disini dan mencari hukumnya, berusaha memahami kandungannya. Terkadang mereka sepakat dan terkadang berbeda pendapat yang disebabkan oleh pemakaian bahasa yang berbeda atau karena kondisi periwayatan.
      Ketiga, Ijma’ (kesepakatan bersama), yaitu tidak ada nashdalam kitab Allah atau sunnah Rasulullah, atau ditemukan namun bersifat global, atau nash nya banyak dan setiap nash member hukum yang berbeda, atau berupa khabar ahad. Dan diantara manhaj mereka pada waktu inikhalifah mengundang para sahabat untuk melakukan consensus (ijma’).Jika mereka sepakat, masalah kemudian dibahas dan saling tukar pendapat, dan jika rapat menyetujui satu pendapat maka itulah yang akan mereka putuskan dan menjadi sebuah hokum yang pasti dan mengikat, inilah yang dinamakan ijma’.
      Keempat, Ijtihad (ra’yi), ijtihad secara bahasa adalah mencurahkan kemampuan dan kesungguhan dalam melakukan suatu perbuatan. Sedangkan para ahli hukum menggunakannya dalam arti mencurahkan kemampuan dalam mengeluarkan hukum syara' (parsial) dari dalil-dalil (global) yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah.

e.    Karakteristik Tasyri’ pada Masa Sahabat
Tasyri’ (perundang-undangan) pada masa sahabat memiliki karakteristik dan keistimewaan sebagai berikut :
1.    Fiqh pada zaman ini sangatlah sejalan dan serasi dengan segala permasalahan yang muncul, tidak hanya terbatas pada apa yang pernah ada pada masa kerasulan. Selain itu juga yang memegang kendali fatwa dan qadha’ dalam berbagai masalah penting adalah para khalifah.
2.    Pada masa ini, Alquran telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan yang dengannya kaum muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi syariat Islam yang sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa kelompok.
3.    Pada masa ini hadis belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali jika ada keperluan yang mendesak seperti ingin mengetahui tentang hukum suatu masalah, periwayatan tidak begitu digemari kecuali pada akhir-akhir zaman ini ketika para sahabat berpencar diberbagai pelosok negeri yang baru ditaklukkan. Jadi, sunnah pada zaman ini masih terjaga kemurniannya dan tidak terkontaminasi dengan kebohongan atau penyimpangan karena zaman yang begitu dekat dengan Rasulullah, dan juga karena para penukilnya adalah para sahabat yang lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri.
4.    Pada zaman ini muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan Islam, yaitu ijma’, dan itu sering terjadi karena memang mudah untuk dilakukan dan semua asbabnya memadai seperti yang sudah kamu jelaskan.
5.    Pada masa ini banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan kepada pemahaman tentang illat hukum baik atau tidaknya.
6.    Para sahabat tidak mewariskan fiqh yan tertulis yang dapat dirujuk, namun mereka hanya mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpandalam dada para sahabat dan disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.[25]

C.   Analisis
1.    Sunnatullah
Saya jelaskan bahwa di alam ini ada dua sistem: Pertama, sistem yang didesain secara khusus untuk mengatur jalannya segala wujud, sehingga semuanya berjalan dengan rapi dan terartur. Ini disebut dengan sunnatullah, sedangkan para ilmuan sering menyebutnya dengan istilah hukum alam.
Kedua, sistem yang diturunkan melalui wahyu, untuk mengatur dan menuntun bagaimana manusia hidup di muka bumi sehingga tidak bertentangan dengan tujuan yang telah Allah swt. tentukan, ini disebut dengan syari’atullah.
Adapun mengenai sunnatullah siapasaja yang mematuhinya ia akan mendapatkan manfaat secara duniawi. Tidak ada bedanya antara orang yang beriman maupun yang tidak. Sebab sunnatullah lebih berupa hokum kausalitas (sebab akibat). Ia bersifat matematis, siapa yang bersungguh-sungguh maka akan dapat manfaatanya. Siapa yang makan maka akan kenyang, sekalipun ia tidak beriman, dan yang tidak makan akan lapar, sekalipun ia beriman.
Dalam hal ini pernah dicontohkan dengan dua tempat. Satunya masjid dan satunya tempat maksiat. Secara sunnatullah tempat maksiat lebih patuh, yaitu di atas bangunan tersebut dipasang penangkal petir. Sementara masjid mengabaikan sunnatullah, dengan anggapan bahwa itu tempat ibadah. Maka tidak perlu diberi penangkal petir. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa tiba-tiba petir menyambar, masjid itu hancur dan tempat maksiat itu tidak.
Di sini menarik untuk dicatat bahwa hidup di dunia tidak cukup hanya dengan patuh kepada syariatullah, tetapi juga harus patuh kepada sunnatullah. Islam bukan hanya ikut syariatullah tetapi juga ikut sunnatullah. Rasulullah saw. Tidak hanya mengajarkan shalat dan puasa tetapi juga mengajarkan kejujuran dan keadilan, kerapian, kerjakeras, kedisiplinan, kesungguhan menegakkan hukum (sisi yang kedua ini termasuk sunnatullah).
Dalam kenyataan sehari-hari di tengah umat Islam masih banyak yang tidak mengambil Islam secara lengkap. Islam hanya diambil sisi syariahnya (baca: ritualnya) saja. Sementara sunnatullah di lapangan social di abaikan. Kebiasaan korupsi, menipu, sogok menyogok, tidak jujur dianggap pemandangan yang biasa. Sementara  negara-negaramaju, sangat takut dari kebiasaan seperti ini. Setiap tindakan menipu, sogok-menyogok, korupsi dan lain sebagainya, sekecil apapun mereka lakukan, maka akan ditindak secara hukum dengan tegas. Karenanya mereka maju secara keduniaan.
Sementara disisi lain  kita menyaksikan orang-orang Islam tidak berdaya. Mereka mati dipojok masjid, dan tidak bisa memberikan kontribusi bagi kemanusiaan secara luas. Padahal dalam sejarah Islam, telah terbukti bahwa umat ini pernah memimpin seperempat dunia, dengan kegemilangan sejarah tak terhingga bagi kemanusiaan. Puncaknya di zaman Umar Bin Khatthab lalu di zaman Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman itu tidak ada seorangpun yang didzalimi. Umar bin Khaththab pernah mengumumkan bahwa anak bayi dari sejak lahir sampai umur lima tahun, ditanggung oleh negara. Dan ternyata aturan ini kini dipraktikkan di Amerika.
Dalam Islam, semua variable dan contoh-contoh tersebut adalah sunnatullah dan syariatullah sekaligus.  Bahwa Islam bukan hanya sibuk mengurus perbedaan pendapat dalam masalah fikih seperti qunut, jumlah rakaat tarawih dan lain sebagainya, melainkan menyelamatkan kemanusiaan adalah juga Islam. Bahwa Islam bukan hanya shalat, dzikir di masjid-masjid, melainkan berkata jujur, menjauhi sogok menyogok, disiplin, bekerja keras, transparansi, tidak koupsi dan lain sebagianya adalah juga Islam.

2.    Tasyri’ Islami
Dari pembahasan diatas, maka kami berpendapat bahwa tasyri’ mengandung arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
Dan yang merupakan sumber hukum Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri. Yang menjadi sumber dalam penetapan hukum oleh umat pada saat itu, baik dari ayat-ayat Al Qur’an yang di turunkan Allah SWT maupun dengan pertanyaan yang di ajukan oleh umat kepada Nabi kemudian di jawab oleh Nabi dengan berdasar sumber utama.
Namun setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang. Perkembangan ini terjadi karena keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca wafatnya Nabi, para sahabat mendapatkan kesulitan dalam hal penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi untuk mereka menanyakan tentang hal permasalahan tersebut, oleh karena inilah maka sumber hukum Islam yang awalnya hanya Al Qur’an dan Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.














BAB. III   PENUTUP


A.    Kesimpulan
1.    Sunnatullāh dapat diartikan sebagai cara Allah memperlakukan manusia, yang dalam arti luasnya bermakna ketetapan-keteapan atau hukum-hukum Allah yang berlaku untuk alam semesta.
2.    Sunnatullah mempunyai 3 sifat, yaitu pasti, tetap (tidak berubah) dan objektif.
3.    Kata tasyri’ mengandung arti menetapkan syariat, menjelaskan hukum, dan membuat undang-undang.
4.    Sumber hukum Islam pada masa Nabi adalah Al Qur’an dan Sunnah Nabi itu sendiri.
5.    Namun pada perkembangannya setelah Nabi wafat, hukum Islam berkembang. Perkembangan ini terjadi karena keadaan yang semakin berbeda apalagi pasca wafatnya Nabi, para sahabat mendapatkan kesulitan dalam hal penetapan hukum dan tidak ada lagi Nabi untuk mereka menanyakan tentang hal permasalahan tersebut, oleh karena inilah maka sumber hukum Islam yang awalnya hanya Al Qur’an dan Sunah, berkembang/bertambah menjadi Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Ijtihad.




DAFTAR PUSTAKA


Abdul Karim Zaidan, Sunnatullah dalam Berbagai Aspek Kehidupan,Jakarta, Pustaka Azzam, 2004
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya,  Pustaka Progressif,  2002
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,Amzah, Jakarta, 2009
Muhammad 'Imaduddin 'Abdurrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, Gema Insani Press, 2002
Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al Quran, Bandung, Mizan, 1996
Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fiqih Tasawuf, terj. Muhammad Abdul Ghoffar E. M., Bandung, Pustaka Hidayah, 2002
Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, dar Al_Ittihad Al-Arabi Littiba’ah, Kairo, 1975



1Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Surabaya,  Pustaka Progressif,  2002, hal. 669
[2]Rahmat Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Al Quran, Bandung, Mizan, 1996, hal. 135

[3] Syaikh Abdul Qadir Jailani, Fiqih Tasawuf, terj. Muhammad Abdul Ghoffar E. M., Bandung, Pustaka Hidayah, 2002, hlm. 240
[4] Rahmat Taufiq Hidayat, Op. Cit., hlm. 135
[5] Abdul Karim Zaidan, Sunnatullah dalam Berbagai Aspek Kehidupan,Jakarta, Pustaka Azzam, 2004,  hlm. 25
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Sunnatullah
[7] Abdul Karim Zaidan, Op. Cit., hlm. 19
[8] Ibid., hlm. 24.
[9] Muhammad 'Imaduddin 'Abdurrahim, Islam Sistem Nilai Terpadu, Jakarta, Gema Insani Press, 2002, hal. 17-18
[10] Ibid…, hal.18
[11] Ibid. hal. 18
[12] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’,Amzah, Jakarta, 2009, hal. 1
[13]Ibid., hlm. 1
[14]Ibid
[15] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 4
[16]Zakaria Al-Bisri, Masadiri Al-Ahkam Al-Islamiyah, dar Al_Ittihad Al-Arabi Littiba’ah, Kairo, 1975, hlm.16
[17] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hal. 35
[18]QS. Al-Baqarah ayat 221
[19]QS An-Nisa ayat 11-12
[20]Q.S Al Baqarah ayat 217
[21] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 56
[22] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 59
[23] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 60
[24] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 62
[25] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh…, hlm. 77