Selasa, 01 September 2015

Bagaimana Shaf Wanita dalam Shalat?

Ketika wanita berjama'ah bersama lelaki, posisi shaf wanita yang paling belakang lebih afdhal dibandingkan posisi shaf di depannya

holy_grand_mosque_in_makkah_by_thameralhassan-d5ax68c

Shalat merupakan rukun islam kedua setelah 2 kalimat syahadat. Hal ini menunjukkan akan pentingnya mendirikan shalat bagi umat Islam. Semua perlu diperhatikan, termasuk bagaimana mengatur shaf yang benar. Kali ini kita akan membahas bagaimana cara mengatur shaf bagi wanita ketika shalat berjama’ah, baik ketika berjama’ah dengan sesama wanita ataupun bersama laki-laki.

Bagi wanita, disunnahkan untuk melakukan shalat jama’ah di antara mereka sendiri secara terpisah dengan kaum laki-laki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahan kepada Ummu Waraqah untuk menunjuk bagi dirinya seorang muadzin dan memerintahkannya untuk mengimami anggota keluarganya. Hal ini dilakukan juga oleh para shahabiah yang lain seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah.

Meskipun begitu, wanita diperbolehkan untuk menghadiri shalat jama’ah di masjid bersama kaum laki-laki, selama memperhatikan adab-adabnya.

Ketika wanita berjama’ah bersama lelaki, posisi shaf wanita yang paling belakang lebih afdhal dibandingkan posisi shaf di depannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ صُفُوفِ الِرجَالِ أَوِّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama.” (HR. Muslim no.440).

Oleh karena itu, dalam menyusun shaf wanita ketika berjama’ah bersama laki-laki dimulai dari belakang, bukan dari depan.

Ketentuan untuk meluruskan shaf, merapatkan shaf, mengisi celah yang kosong, juga berlaku. Karena aturan ini bersifat umum, berlaku baik bagi lelaki maupun wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (HR. al-Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433).

Yang dimaksud dengan meluruskan shaf adalah dengan meratakan barisan orang-orang yang berdiri di dalam shaf tersebut dan menutup adanya celah di dalam barisan tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan menempelkan pundak dengan pundak dan mata kaki dengan mata kaki, sebagaimana amalan para sahabat Rasulullah. Namun sungguh disayangkan, saat ini masih banyak wanita yang tidak tahu akan hal ini sehingga menyebabkan kurang sempurnanya shalat jama’ah.

Shaf laki-laki dan wanita dalam shalat berjama’ah terdapat beberapa perbedaan, sebagaimana yang dikemukakan Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (3/455) berikut ini:
  1. Jika seorang wanita menjadi imam sesama wanita, maka imam wanita berdiri di tengah-tengah shaf pertama.
  2. Apabila seorang wanita menjadi makmum laki-laki, maka perempuan berdiri di belakang imam, bukan berdiri di samping imam.
  3. Apabila kaum wanita shalat berjama’ah bersama kaum laki-laki, maka shaf kaum wanita yang lebih utama adalah di shaf paling belakang untuk menjauhi terjadinya campur baur antara laki-laki dan perempuan.
Demikian beberapa hal yang berkaitan dengan shaf wanita ketika shalat berjama’ah. Diharapkan hal ini menjadi perhatian kita semua dan dapat memotivasi untuk senantiasa terus memperbaiki dan menyempurnakan shalat kita. Karena shalat merupakan amalan yang akan pertama kali dihisab di hari akhir kelak, sehingga harus dikerjakan secara benar dan sungguh-sungguh.



***


Penyusun: Annisa Nurlatifa F
Pemuraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Referensi:
  • Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan. al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy. 3/157.
  • Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan. Ringkasan Fikih Lengkap Jilid 1 dan 2 (Terjemah Kitab Al Mulakhos Al Fiqh). Jakarta: Darul Falah.
  • Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan. Rambu-Rambu Syari’at Praktis Fiqih Wanita (Terjemah Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat. Solo: As-Salam.
Artikel www.muslimah.or.id

Sabtu, 07 Maret 2015

Daripada Diet Lebih Baik Sekalian Puasa, Bolehkah?

diet 
 
Syeikh Abdul Karim Al-Khudhoir -hafizhohulloh- mengatakan:
“Tidak diragukan lagi manfaat puasa dari sisi kesehatan, (bahkan) banyak orang sakit yg diberi resep untuk berdiet dg meninggalkan makan dan minum.

Bagi yang diberi resep untuk meninggalkan makan minum, dan dia diharuskan untuk berdiet, lalu dia mengatakan: “Daripada aku diet, lebih baik aku puasa“. Padahal yang mendorong dia untuk puasa itu diet, apakah dia akan mendapatkan pahala atau tidak?

Kita katakan, ini adalah penggabungan (niat) dalam ibadah, tapi ini merupakan penggabungan yang dibolehkan. Memang tidak diragukan lagi bahwa orang yang dorongan puasanya (hanya) ingin mendapatkan pahala dari Allah -subhanahu wata’ala- itu lebih sempurna dan lebih afdhol.

Masalah penggabungan (niat) dalam ibadah ini, memang membutuhkan lebih banyak perincian, penjabaran, permisalan, dan perbandingan. Penggabungan suatu ibadah dengan ibadah lain ada hukumnya sendiri, penggabungan suatu ibadah dengan sesuatu yg mubah ada hukumnya sendiri, dan penggabungan suatu ibadah dengan sesuatu yang haram ada hukumnya sendiri.

Jadi, orang yg disuruh untuk banyak jalan, lalu dia mengatakan: “daripada saya mengelilingi pasar, lebih baik saya thowaf, sehingga disamping saya mendapatkan tujuanku, aku juga dapat pahala thowaf“.
Kita katakan, orang ini dapat pahala dari thowaf-nya, karena dia tidaklah beralih dari pilihan awal ke pilihan kedua kecuali karena menginginkan pahala.

Begitu pula orang yang tadi, dia tidaklah meninggalkan pilihan (untuk sekedar) diet dengan tidak makan minum tanpa puasa, lalu memilih puasa, kecuali karena menginginkan Wajah Allah subhanahu wata’ala. Namun memang pahalanya akan berkurang.

Seorang imam, bila dia memanjangkan rukuknya karena (menunggu) orang yang masuk masjid (agar mendapatkan rukuknya), ini merupakan penggabungan (niat) dalam ibadah. Karena imam itu asalnya berniat untuk membaca tasbih 7 kali, lalu ketika mendengar pintu masjid terbuka, dia berkata dalam hatinya: “Mungkin orang ini bisa mendapatkan rakaat ini“, maka dia pun bertasbih 10 kali karena orang yang masuk tersebut, menurut mayoritas ulama hal ini tidak mengapa, dan itu termasuk dalam bab berbuat baik kepada saudaranya.

Jika menyingkat sholat karena tangisan anak dan karena (melihat perasaan) ibunya; dibolehkan. Maka memanjangkan sholat -tanpa ada riya’- karena ingin berbuat baik kepada orang yang masuk tersebut lebih pantas untuk dibolehkan”.

(dari kitab Syarah Zadul Mustaqni’ 1/17-18).


Penulis: Ust. Musyaffa Ad Darini, Lc., MA.

Artikel Muslimah.Or.Id

Rabu, 14 Januari 2015

Ta'aruf Tapi Mesra

Bismillahirrahmanirrahim..

” Assalamualaikum ukhti, jangan lupa makan ya? ana nggak mau kalau nanti jadi istri ana, ukhti kena sakit maag atau kurusan.”

SMS dikirim..

SMS diterima..

“Wa’alaikumsalam akhi, iya akhi. Insyaallah ana nggak telat makan. Makasih banget ya, masih ta’aruf aja udah diperhatikan seperti ini apalagi nanti kalau jadi istri akhi, pasti jadi wanita paling bahagia.”

====================================

WoW.. PEDE aja gitu, SMS an dengan kata mesra yang bergejolak-jolak bawa kata-kata islami untuk menghalalkan ragam kemesraan.

Tak mudah memang menutupi rasa yang seharusnya tak terungkapkan begitu saja, tak diumbar begitu mudah. Seperti cinta yang tak pernah ada harganya, layaknya para pemuja cinta yang sudah kehilangan kendali bahkan telah hilang dalam mengenali bagaimana rasanya cinta.

Para pejuang cinta yang tidak mengenal cinta karena terlalu sering mengumbar cinta, bahkan agar terkesan islami untuk menutupi keinginan “pacaran” banyak yang menggunakan kata ta’aruf, namun sayangnya didalamnya tak jauh berbeda dengan kemaksiatan yang sudah terencana.

Bukankah para pemulung yang biasa bekerja di tempat sampah sudah begitu terbiasa dengan bau sampah, begitupula maksiat, orang yang biasa berkecimpung dengan baunya maksiat, sudah tidak sadar lagi bahkan tidak terganggu justru ditutupi dengan gaya islami.

Seakan-akan ta’aruf adalah penghalalan sebuah hubungan lawan jenis, bisa mesra-mesraan, bisa sayang-sayang. Aduh Sobat, apa kata akhirat kalau seperti ini terus?

Potret remaja masa kini, dilarang pacaran larinya ke ta’aruf, tapi setelah ta’aruf sama saja ketika berpacaran. Lantas apanya yang mau di syar’i kan kalau kelakuannya sama saja, tidak mengenal batasan dalam berbicara meski dengan dalih ta’aruf.

Apakah telah hilang rasa malu di dunia ini sehingga banyak manusia yang sudah tidak berpikir dengan akal sehat? karena merasa bahwa yang mereka perbuat adalah hal yang benar asal membawa nama agama, nah lho padahal dengan membawa nama agama tapi didalamnya jauh dari apa yang di ajarkan, berarti sudah hilang akal sehatnya, iya apa iya?

Sahabat BMB, bukan maksud ingin menggurui, bukan maksud ingin mencampuri kesenangan kalian, tapi bukankah saya sebagai seorang saudara wajib untuk saling mengingatkan dalam kebenaran?

Ta’aruf bukanlah pacaran yang dengannya kita jadi boleh bermesraan, bahkan setelah khitbahpun yang sudah mendekati fase pernikahan pun masih tidak dibolehkan untuk bermesra-mesraan lewat media manapun, apalagi baru sebatas ta’aruf. Bukankah islam sudah mengatur ta’aruf syari yang bila dilakukan harus ada wali yang mendampingi.

Mari perbaiki diri kita, agar kita dijauhkan dari sifat-sifat jahil. Bukankah wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik pula? Tetaplah berjalan dalam koridor syariat agar Allah selalu meridhoi langkah kita.

(A.I)

wallahua'lam bish shawwab

Sabtu, 13 Desember 2014

Apakah Wanita Boleh Menjenguk Laki-Laki Yang Sakit?


akhlak 
 
Jawaban atas pertanyaan di atas adalah: boleh saja, asalkan aman dari fitnah, tertutup auratnya dan tidak khalwat (bedua-

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab khusus mengenai hal ini dalam kitab shahihnya,
 باب عيادة النساء للرجال” قال: وعادت أم الدرداء رجلاً من أهل المسجد من الأنصار

“Bab: wanita menjenguk laki-laki dan Ummu Ad-Darda’ menjenguk beberapa laki-laki ahli masjid dari kaum Anshar.” 

Sebagaimana hadits ‘Aisyah menjenguk Bilal dan menanyakan keadaannya,

عن عائشة رضي الله عنها قالت : لما قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة وعك أبو بكر وبلال رضي الله عنهما قالت : فدخلت عليهما ، فقلت : يا أبت كيف تجدك ؟ ويا بلال كيف تجدك

Aisyah radhiyallahu’anha meriwayatkan, Ketika Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Bakar dan Bilal terserang demam. Kemudian, kata Aisyah, aku menemui mereka dan bertanya, ‘Ayah, bagaimana keadaanmu?’ ‘Wahai Bilal, bagaimana keadaanmu?

Demikian juga laki-laki boleh menjenguk wanita dan menanyakan keadaannya. Sebagaimana Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam menjenguk sahabat wanita,

وروى مسلم عن جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دخل على أم السائب – أو أم المسيب – فقال: “مَالَكِ يا أُمَّ السَّائبِ¬ أَوْ يَا أُمِّ المُسيَّبِ¬ تُزَفْزِفينَ ؟” قَالَتْ: الحُمَّى لا بارَكَ اللَّه فِيهَا، فَقَالَ: “لا تَسُبِّي الحُمَّى، فَإِنَّهَا تُذْهِبُ خَطَايا بَني آدم، كَما يُذْهِبُ الْكِيرُ خَبثَ الحدِيدِ”

Diriwayatkan dari Jabir Bin Abdullah Bahwa Rasulullah shallalallahu alaihi wa sallam menjenguk Ummu Saib –atau Ummu Musayyab- beliau bersabda, “Bagaimana keadaannmu wahai Ummu Saib –atau wahai Ummu Musayyab apa yang engkau keluhkan?”. Ia berkata, “demam, semoga Allah tidak memberkahinya (demam). Beliau bersabda, “janganlan engkau mencela demam karena ia menghapus kesalahan anak adam sebagaimana kikir menghilangkan karat besi.

Demikian juga Ibnu Abbas yang menjenguk ‘Aisyah ketika sakit yang mengantarkannya kepada kematian.

وعن ابن عباس (رضي الله عنهما) أنه استأذن على عائشة (رضي الله عنها) في مرض موتها، فأذنت له، فقال:كيف تجدينك ؟ قالت: بخير إن اتقيت، قال: فأنت بخير إن شاء الله تعالى، زوجة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم ينكح بكرًا غيرك

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bahwasanya ia meminta izin kepada Aisyah radhiallahu anha untuk menjenguk ketika sakit yang mengantarkan kematiannya, maka Aisyah mengizinkannya. Ia berkata, “bagaimana keadaanmu?”. Aisyah berkata, “Dalam kondisi baik, jika saya bertakwa”. Ia berkata, “ engkau dalam kebaikan insyaAllah, engkau Istri rasulullah shallalallahu alaihi wasallam, ia tidak menikahi perawan kecuali engkau.” 

Namun perlu diperhatikan bahwa kebolehan hal ini dengan syarat terhindar dari fitnah yang datang dari lawan jenis. Jika berpotensi menimbulkan fitnah, yaitu keburukan semisal munculnya penyakit hati atau godaan syahwat maka sebaiknya dihindari mengingat banyaknya dalil yang mewanti-wanti mengenai bahaya fitnah dari lawan jenis. Apalagi sarana komunikasi sekarang lebih mudah, sehingga bisa menanyakan keadaan lewat media dan sarana yang lebih aman dari fitnah.

Demikian semoga bermanfaat


Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslimah.or.id

Memberi Senyuman Kepada Laki-laki Yang Bukan Mahram


Memberi Senyuman Kepada Laki-laki Yang Bukan Mahram
Pertanyaan:
Apa hukumnya bila seorang wanita memberi senyuman kepada sekumpulan laki-laki agar mereka merasa bahwa mereka adalah saudara kita dan kita adalah saudara mereka. Apa hukum senyuman wanita kepada laki-laki dan sebaliknya senyuman laki-laki kepada wanita secara umum?

Jawab:
Alhamdulillah,
Pertama,
Kewajiban seorang wanita adalah menutupi wajahnya dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini berdasarkan banyak dalil yang telah disebutkan pada soal jawab no. 11774. Dengan demikian seorang wanita jelas tidak diperbolehkan menebar senyuman kepada laki-laki yang bukan mahram.
Kedua,
Banyak sekali dalil syar’i yang melarang segala sesuatu yang bisa mendatangkan fitnah perempaun bagi laki-laki ataupun sebaliknya.
Diantara larangan tersebut adalah jabat tangan lawan jenis yang bukan mahram, berdua-duan, mendayu-dayukan suara, wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi hingga tercium baunya, larangan lainnya adalah laki-laki melihat perempaun dan perempuan melihat laki-laki disertai dengan syahwat. Silakan lihat jawab soal no 84089 tentang dalil-dalilnya.
Adapun senyuman wanita kepada laki-laki yang bukan mahram dengan tujuan sebagaimana yang Anda sebutkan seperti melembutkan hati atau semata-mata berbuat baik maka tindakan ini berkonsekwensi adanya pandangan satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu hukumnya terlarang. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا 
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang lelaki yang beriman supaya mereka menyekat pandangan mereka (dari memandang yang haram), dan memelihara kehormatan mereka. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Amat Mendalam PengetahuanNya tentang apa yang mereka kerjakan. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (Qs. Nur 31)

Senyuman semacam ini terkadang membekas di hati. Minimal, seperti halnya pengaruh suara yang dilembutkan hingga terjadilah fitnah yang Allah peringatkan dalam firmanNya,

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Qs Ah Ahzab 32)

Lembaga Fatwa Saudi (Lajnah Daimah Lil Ifta’) pernah ditanya,
Apa hukumnya bila seorang wanita memberi senyuman kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa memperlihatkan giginya dan tanpa suara?

Jawab,
Diharamkan bagi seorang wanita menyingkap wajahnya dan memberi senyuman kepada laki-laki yang bukan mahram. Demikian ini dikarenakan bahaya yang ditimbulkannya.
Wabillahittaufiq, washallallahu’ala Nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.
Allajnah addaimah lilbuhuts al’ilmiyyah wal ifta’

Abdul’Aziz bin Abdillah bin Baz…Abdurrazzaq ‘Afifi…Abdullah bin Ghudyan. Demikian nukilan dari Fatawa Allajnah Ad Daimah (17/25)

Adapun (adab) seseorang kepada masyarakat muslim hendaknya ia memuliakan mereka,menghargai dan menghormati mereka tanpa terjatuh pada perkara yang dilarang. Laki-laki tentunya hanya berkumpul dengan laki-laki, sementara Wanita saling tolong menolong sesama wanita. Maka akan Anda dapati banyak sekali muslimah yang membutuhkan perhatian dan kebaikan Anda.

Semoga Allah menambahkan taufiq dan kebenaran pada kami dan Anda.

Wallahua’lam

***

artikel muslimah.or.id
Sumber : http://islamqa.info/ar/ref/102415
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Muslimah.Or.Id

Jumat, 28 November 2014

Sejarah Cincin Pertunangan

Sejarah Cincin Pertunangan
Cincin pertunangan berasal dari tradisi orang-orang Nasrani. Ketika pengantin pria memasang cincin di ibu jari pengantin putri, dia mengatakan, “Dengan nama Bapa,” lalu cincin tadi dipindahkannya ke jari telunjuk seraya berkata, “Dengan nama Tuhan Anak,” kemudian dipindahkannya ke jari tengah seraya mengatakan, “Dengan nama Roh Kudus,” dan terakhir kalinya dia pindahkan cincin tersebut ke jari manis seraya mengucapkan, “Aamiin.”
Pernah ada pertanyaan yang dilontarkan kepada majalah berbahasa Inggris “The Woman” yang terbit di London pada edisi 19 Maret 1960 hlm. 8 sebagai berikut, “Mengapa cincin pertunangan diletakkan di jari manis tangan kiri?
Pertanyaan tersebut dijawab oleh Angela Talbot, penanggung jawab rubrik tersebut, “Hal ini karena konon di jari tersebut terdapat urat saraf yang berhubungan dengan hati. Selain itu ada juga sumber ajaran kuno yang menyebutkan bahwa tatkala pengantin putra memasang cincin di ibu jari pengantin putri, dia mengatakan, “Dengan nama Bapa,” lalu cincin tadi dipindahkannya ke jari telunjuk seraya berkata, “Dengan nama Tuhan Anak,” kemudian dipindahkannya ke jari tengah seraya mengatakan, “Dengan nama Roh Kudus,” dan terakhir kalinya dia pindahkan cincin tersebut ke jari manis seraya mengucapkan, “Aamiin.”
Tulisan tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh seorang penulis wanita bernama Malak Hanano. Semoga Allah membalas kebaikannya.


Sumber: Adab Az Zifaf – Panduan Pernikahan Cara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hlm. 191. Cetakan Pertama. Muharram 1425/Maret 2004. Penerbit Media Hidayah, Yogyakarta.

Artikel Muslimah.Or.Id

Perempuan Bekerja Boleh Saja, Asal…

Di zaman sekarang ini, semakin banyak wanita keluar dari rumahnya untuk bekerja. Sebagian besar dari mereka bekerja dengan dalih menambah penghasilan karena uang bulanan yang diberikan oleh suaminya tidak mencukupi. Persoalan wanita bekerja di luar rumah atau yang populer disebut wanita karir memang masih ramai dibicarakan. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Bagaimana Islam memandang hal ini?

Islam yang Universal

Islam mengatur semua hal, bahkan hal kecil sekalipun, apalagi soal harkat dan martabat wanita. Dalam Islam, wanita sangat dimuliakan. Sebelum datangnya Islam, wanita diperlakukan semena-mena. Pada masa jahiliyah, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena diapandang bahwa wanita hanya akan menyusahkan.
(وَإِذَا ٱلۡمَوۡءُۥدَةُ سُٮِٕلَتۡ (٨)بِأَىِّ ذَنۢبٍ۬ قُتِلَتۡ (٩
Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” [Q.s At-Takwir: 8-9]
Dalam masyarakat Yunani, wanita dipandang sebagai barang yang dapat diperjual- belikan. Dalam masyarakat Hindu, bahkan wanita disamakan dengan makhluk jelata yang setingkat dengan kasta hewan. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Islam Memuliakan Wanita

Kemudian Islam datang untuk menempatkan kedudukan wanita pada posisi yang layak, memberikan hak-haknya dengan sempurna tanpa dikurangi sedikitpun. Islam memuliakan kedudukan kaum wanita, baik sebagai ibu, sebagai anak atau saudara perempuan, juga sebagai istri. Pada poin yang terakhir ini, yaitu sebagai istri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi makanan, pakaian, dan sebagainya. Seorang istri berhak mendapatkan apa-apa yang ia butuhkan dengan cara meminta kepada suaminya dengan cara yang ma’ruf.
Dari ‘Aisyah  radhiyallahu ‘anha, dia menuturkan bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa-apa yang aku ambil darinya dengan sembunyi-sembunyi“ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ambillah  harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (baik)” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5324), Kitab “an-Nafaqaat”, Bab “Idzaa lam Yunfiqir Rajulu”; Muslim dalam Shahih-nya (no. 1714), Kitab “al-Aqdhiyah”, Bab “Qadhiyah Hind”, dari ‘Aisyah)

Sanggahan Bagi Kaum Feminis

Sayangnya, hak wanita di zaman sekarang ini seringkali “dipaksakan” oleh sebagian kalangan. Beberapa di antaranya yang menamakan diri mereka sebagai feminis (yang katanya memperjuangkan hak wanita), mereka berpendapat bahwa wanita harus sejajar dengan laki-laki, wanita tidak boleh dikekang, dan sebagainya. Padahal hal-hal tersebut malah membuat wanita kehilangan kemuliaannya.
Wanita berbeda dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu, sehingga tidak akan bisa seorang wanita bertindak seperti laki-laki, bebas keluar rumah dan eksis di ranah publik. Sebagai contoh perbedaan laki-laki dan wanita (yang akan berpengaruh dalam pekerjaan yang boleh untuk wanita dan yang tidak) adalah perbedaan fisik. Ini yang pertama. Laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat sehingga mampu menerima tantangan yang keras untuk bekerja di luar rumah, sedangkan wanita dengan kelemah lembutannya diciptakan untuk tetap berada di rumah, mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Kedua, perbedaan hormon. Ketiga, perbedaan kondisi fisik dan psikis, di antaranya keadaan wanita yang mudah tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haidh. Keempat, perbedaan susunan otak pria dan wanita. Otak laki-laki jauh lebih unggul daripada otak wanita, sehingga lebih cocok bila laki-laki lebih banyak berada di ranah publik.
Namun, Islam agama yang sempurna tidaklah mengungkung para wanita dan sama sekali tidak membolehkannya keluar rumah. Adakalanya wanita dibutuhkan kehadirannya di luar. Atau mungkin mereka membutuhkan sesuatu yang harus didapat dengan cara keluar dari rumahnya.

Bagaimana Aturan Islam Bila Wanita Harus Keluar Rumah?

Jika wanita mesti keluar rumah untuk bekerja, maka hal-hal berikut yang mesti diperhatikan:
  • Mendapatkan izin dari walinya
    Wali adalah kerabat seorang wanita yang mencakup sisi nasabiyah (garis keturunan, seperti dalam An Nuur:31), sisi sababiyah (tali pernikahan, yaitu suami), sisi ulul arham (kerabat jauh, yaitu saudara laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu serta keturunan laki-laki dari keduanya), dan sisi pemimpin (yaitu hakim dalam pernikahan atau yang mempunyai wewenang seperti hakim). Jika wanita tersebut sudah menikah, maka harus mendapat izin dari suaminya.
  • Berpakaian secara syar’i
    Syarat pakaian syar’i yaitu menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan (wajah dan telapak tangan, -ed), tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak memakai wewangian.
  • Aman dari fitnah
    Yang dimaksud aman dari fitnah adalah wanita tersebut sejak menginjakkan kaki keluar rumah sampai kembali lagi ke rumah, mereka terjaga agamanya, kehormatannya, serta kesucian dirinya.Untuk menjaga hal-hal tersebut, Islam memerintahkan wanita yang keluar rumah untuk menghindari khalwat (berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita tanpa dipisahkan oleh tabir), menjaga sikap dan tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan, serta berjalan dengan sewajarnya, tidak berlenggak-lenggok).
  • Adanya mahram ketika melakukan safar
    Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” [HR. Bukhari dalan Shahihnya (no. 1862), Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “Hajjun Nisaa’”; Muslim (no. 1341), Kitab “al-Hajj”, Bab “Safarul Mar-ah ma’a Mahramin ilal hajji wa Ghairihi”, dari Ibnu ‘Abbas]

Pekerjaan yang Cocok bagi Muslimah

Ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka wanita pun boleh keluar rumah bahkan untuk bekerja. Namun hendaknya dipahami lagi, jenis-jenis pekerjaan seperti apa yang boleh dilakukan oleh wanita, sesuai dengan aturan Islam.
Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi, diantaranya adalah:
  • Dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium.
    Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa. Untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan juga ketika dokter spesialis laki-laki tidak ditemui di negeri tersebut.Salah satu dalil yang membolehkannya adalah, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]Imam Nawawi menjelaskan hadits di atas, tentang kebolehan wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.
  • Di bidang ketentaraan dan kepolisian, hanya dibatasi pada pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum wanita, seperti memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita misalnya di daerah perbatasan dan bandara.
  • Di bidang pengajaran (ta’lim), dibolehkan bagi wanita mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk mengajar kaum pria, boleh apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab, seperti menggunakan hijab dan menjaga suara.
  • Menenun dan menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan fitrah wanita.
  • Di bidang pertanian, dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
  • Di bidang perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang . Hadits ini tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam aktivitas perniagaan.
  • Menyembelih dan memotong daging. Meskipun ada pendapat yang membolehkan pekerjaan ini bagi wanita, namun hakikatnya tidak sesuai dengan tabiat wanita karena membuat anggota tubuhnya tersingkap saat bekerja, seperti lengan, dan kaki.
  • Tata rias kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, juga dilarang pula melihat aurat wanita yang diharamkan. Dilarang menggunakan benda-benda yang membahayakan tubuh, serta haram menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami si perias sendiri.

Sebaik-Baik Tempat Wanita Adalah Rumah

Dari ulasan di atas, tetaplah sebaik-baik tempat wanita adalah di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaklah wanita berdiam di rumahnya dan tidak keluar kecuali jika ada kebutuhan.
Sehingga jika ada pekerjaan bagi wanita yang bisa dikerjakan di rumah, itu tentu lebih layak dan lebih baik. Dan perlu ditekankan kewajiban mencari nafkah bukanlah jadi tuntutan bagi wanita. Namun prialah yang diharuskan demikian. Inilah yang Allah perintahkan,
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7). [ed]

***

Artikel Muslimah.Or.Id

Penulis: Nur Fitri Fatimah

Murajaah: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal (Rumaysho.Com)

Referensi Utama:
Wanita Karir, Profesi Wanita di Ruang Publik yang Boleh dan yang Dilarang dalam Fiqih Islam”, karangan Adnan bin Dhaifullah Alu asy-Syawabikah, penerbit: Pustaka Imam Asy’Syafi’i