Di zaman sekarang ini, semakin banyak wanita keluar dari rumahnya untuk
bekerja.
Sebagian besar dari mereka bekerja dengan dalih menambah penghasilan
karena uang bulanan yang diberikan oleh suaminya tidak mencukupi.
Persoalan wanita bekerja di luar rumah atau yang populer disebut wanita
karir memang masih ramai dibicarakan. Ada yang menerima dan ada yang
menolak. Bagaimana Islam memandang hal ini?
Islam yang Universal
Islam mengatur semua hal, bahkan hal kecil sekalipun, apalagi soal
harkat dan martabat wanita. Dalam Islam, wanita sangat dimuliakan.
Sebelum datangnya Islam, wanita diperlakukan semena-mena. Pada masa
jahiliyah, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena diapandang bahwa
wanita hanya akan menyusahkan.
(وَإِذَا ٱلۡمَوۡءُۥدَةُ سُٮِٕلَتۡ (٨)بِأَىِّ ذَنۢبٍ۬ قُتِلَتۡ (٩
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” [Q.s At-Takwir: 8-9]
Dalam masyarakat Yunani, wanita dipandang sebagai barang yang dapat
diperjual- belikan. Dalam masyarakat Hindu, bahkan wanita disamakan
dengan makhluk jelata yang setingkat dengan kasta hewan. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Islam Memuliakan Wanita
Kemudian Islam datang untuk menempatkan kedudukan wanita pada posisi
yang layak, memberikan hak-haknya dengan sempurna tanpa dikurangi
sedikitpun. Islam memuliakan kedudukan kaum wanita, baik sebagai ibu,
sebagai anak atau saudara perempuan, juga sebagai istri. Pada poin yang
terakhir ini, yaitu sebagai istri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya, baik dari segi makanan, pakaian, dan sebagainya.
Seorang istri berhak mendapatkan apa-apa yang ia butuhkan dengan cara
meminta kepada suaminya dengan cara yang ma’ruf.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia menuturkan bahwa
Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan
adalah seorang suami yang pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang cukup
untukku dan anakku, kecuali apa-apa yang aku ambil darinya dengan
sembunyi-sembunyi“ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ambillah harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (baik)”
(HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5324), Kitab “an-Nafaqaat”, Bab
“Idzaa lam Yunfiqir Rajulu”; Muslim dalam Shahih-nya (no. 1714), Kitab
“al-Aqdhiyah”, Bab “Qadhiyah Hind”, dari ‘Aisyah)
Sanggahan Bagi Kaum Feminis
Sayangnya, hak wanita di zaman sekarang ini seringkali “dipaksakan”
oleh sebagian kalangan. Beberapa di antaranya yang menamakan diri mereka
sebagai feminis (yang katanya memperjuangkan hak wanita), mereka
berpendapat bahwa wanita harus sejajar dengan laki-laki, wanita tidak
boleh dikekang, dan sebagainya. Padahal hal-hal tersebut malah membuat
wanita kehilangan kemuliaannya.
Wanita berbeda dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu, sehingga
tidak akan bisa seorang wanita bertindak seperti laki-laki, bebas keluar
rumah dan eksis di ranah publik. Sebagai contoh perbedaan
laki-laki dan wanita (yang akan berpengaruh dalam pekerjaan yang boleh
untuk wanita dan yang tidak) adalah perbedaan fisik. Ini yang pertama.
Laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat sehingga mampu menerima
tantangan yang keras untuk bekerja di luar rumah, sedangkan wanita
dengan kelemah lembutannya diciptakan untuk tetap berada di rumah,
mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Kedua, perbedaan hormon. Ketiga, perbedaan
kondisi fisik dan psikis, di antaranya keadaan wanita yang mudah
tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haidh. Keempat, perbedaan
susunan otak pria dan wanita. Otak laki-laki jauh lebih unggul daripada
otak wanita, sehingga lebih cocok bila laki-laki lebih banyak berada di
ranah publik.
Namun, Islam agama yang sempurna tidaklah mengungkung para wanita dan
sama sekali tidak membolehkannya keluar rumah. Adakalanya wanita
dibutuhkan kehadirannya di luar. Atau mungkin mereka membutuhkan sesuatu
yang harus didapat dengan cara keluar dari rumahnya.
Bagaimana Aturan Islam Bila Wanita Harus Keluar Rumah?
Jika wanita mesti keluar rumah untuk bekerja, maka hal-hal berikut yang mesti diperhatikan:
- Mendapatkan izin dari walinya
Wali adalah kerabat seorang wanita yang mencakup sisi nasabiyah (garis keturunan, seperti dalam An Nuur:31), sisi sababiyah (tali pernikahan, yaitu suami), sisi ulul arham (kerabat
jauh, yaitu saudara laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu
serta keturunan laki-laki dari keduanya), dan sisi pemimpin (yaitu hakim
dalam pernikahan atau yang mempunyai wewenang seperti hakim). Jika
wanita tersebut sudah menikah, maka harus mendapat izin dari suaminya.
- Berpakaian secara syar’i
Syarat pakaian syar’i
yaitu menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan (wajah dan
telapak tangan, -ed), tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak
ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak memakai
wewangian.
- Aman dari fitnah
Yang dimaksud aman dari fitnah adalah wanita tersebut sejak menginjakkan
kaki keluar rumah sampai kembali lagi ke rumah, mereka terjaga
agamanya, kehormatannya, serta kesucian dirinya.Untuk menjaga hal-hal
tersebut, Islam memerintahkan wanita yang keluar rumah untuk menghindari
khalwat (berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur
baur antara laki-laki dan wanita tanpa dipisahkan oleh tabir), menjaga
sikap dan tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan,
serta berjalan dengan sewajarnya, tidak berlenggak-lenggok).
- Adanya mahram ketika melakukan safar
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” [HR. Bukhari dalan Shahihnya (no. 1862), Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “Hajjun Nisaa’”; Muslim (no. 1341), Kitab “al-Hajj”, Bab “Safarul Mar-ah ma’a Mahramin ilal hajji wa Ghairihi”, dari Ibnu ‘Abbas]
Pekerjaan yang Cocok bagi Muslimah
Ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka wanita pun boleh
keluar rumah bahkan untuk bekerja. Namun hendaknya dipahami lagi,
jenis-jenis pekerjaan seperti apa yang boleh dilakukan oleh wanita,
sesuai dengan aturan Islam.
Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi, diantaranya adalah:
- Dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium.
Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki
dewasa. Untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam
keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk
berperang, dan juga ketika dokter spesialis laki-laki tidak ditemui di
negeri tersebut.Salah satu dalil yang membolehkannya adalah, dari
ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama
Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan
jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam
Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’
al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata:
“Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim
dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan
mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]Imam
Nawawi menjelaskan hadits di atas, tentang kebolehan wanita memberikan
pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang
lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada
bagian yang dibutuhkan saja.
- Di bidang ketentaraan dan kepolisian, hanya
dibatasi pada pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum wanita, seperti
memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita misalnya di daerah
perbatasan dan bandara.
- Di bidang pengajaran (ta’lim), dibolehkan bagi wanita
mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk mengajar kaum pria, boleh
apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab, seperti menggunakan
hijab dan menjaga suara.
- Menenun dan menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan fitrah wanita.
- Di bidang pertanian, dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
- Di bidang perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menyatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah maraknya
perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang . Hadits ini
tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam aktivitas perniagaan.
- Menyembelih dan memotong daging. Meskipun ada pendapat yang
membolehkan pekerjaan ini bagi wanita, namun hakikatnya tidak sesuai
dengan tabiat wanita karena membuat anggota tubuhnya tersingkap saat
bekerja, seperti lengan, dan kaki.
- Tata rias kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat
tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut,
mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, juga dilarang pula melihat
aurat wanita yang diharamkan. Dilarang menggunakan benda-benda yang
membahayakan tubuh, serta haram menceritakan kecantikan wanita yang
diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami si perias sendiri.
Sebaik-Baik Tempat Wanita Adalah Rumah
Dari ulasan di atas, tetaplah sebaik-baik tempat wanita adalah di rumahnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaklah wanita berdiam di rumahnya dan tidak keluar kecuali jika ada kebutuhan.
Sehingga jika ada pekerjaan bagi wanita yang bisa dikerjakan di
rumah, itu tentu lebih layak dan lebih baik. Dan perlu ditekankan
kewajiban mencari nafkah bukanlah jadi tuntutan bagi wanita. Namun
prialah yang diharuskan demikian. Inilah yang Allah perintahkan,
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta
yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7). [ed]
***
Artikel Muslimah.Or.Id
Penulis: Nur Fitri Fatimah
Referensi Utama:
Wanita Karir, Profesi Wanita di Ruang Publik yang Boleh dan yang Dilarang dalam Fiqih Islam”, karangan Adnan bin Dhaifullah Alu asy-Syawabikah, penerbit: Pustaka Imam Asy’Syafi’i